Sukses

Prediksi Mikhail Gorbachev Sebelum Meninggal: Hubungan Rusia-AS Semakin Parah Jika Barat Terus Lakukan Hal Ini

Gorbachev, mantan pemimpin tertinggi Uni Soviet sudah memprediksi dan memperingatkan terkait konflik Rusia-AS.

Liputan6.com, Moskow- Pada awal 2014, Gorbachev memperingatkan bahwa jika Barat tidak mengubah arah penanganan konflik Rusia-Ukraina yang telah berlangsung lama, maka ketegangan baru antara Rusia dan Amerika Serikat juga tidak dapat dihindari.

Mikhail Gorbachev menghembuskan nafas terakhirnya di tengah konflik militer yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina.

Dikutip dari Grunge, Selasa (31/8/22), Ketegangan Rusia-Ukraina menghidupkan kembali hal-hal yang melekat pada Gorbachev, yaitu Perang Dingin antar negara yang diakhiri oleh kebijakan "glasnost" dan "perestroika" pada akhir 1980-an.

Runtuhnya Tembok Berlin, sering dianggap sebagai simbol berakhirnya Perang Dingin antar negara. Jika berbicara tentang itu, Gorbachev memperingatkan, mungkin hal itu sudah terlambat dan perang dingin baru sudah dimulai. 

Kematian Gorbachev membuka kembali warisan politik Gorbachev yang sangat berjasa bagi Barat, tapi tidak mampu mempertahankan Uni Soviet. 

"Kematian mantan pemimpin Soviet, Mikhail Gorbachev pada usia 91 tahun merupakan pengingat atas apa yang dia lakukan: mengakhiri Uni Soviet, yang sekarang merdeka, termasuk Ukraina." kata Frank Gardener, koresponden keamanan BBC, dalam postingannya. 

"Selama kunjungan saya ke moskow tahun 1987, Rusia berubah karena kebijakan perestroikanya," tambahnya.

Sebelum Uni Soviet lepas dan negara-negaranya merdeka, Gorbachev pada tahun 2016 mengatakan bahwa ia selalu mempertahankan versi reformasi dari Uni Soviet. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ketegangan Rusia-Ukraina yang Memicu Perpecahan

Atas apa yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukraina, sebenarnya Gorbachev telah memperingatkannya sejak awal, sejak Ukraina merdeka.

"Gorbachev menerima kemerdekaan Ukraina, tetapi mengharapkan hubungan positif antara Rusia-Ukraina, dan integrasi melalui lembaga regional," kata Samuel Ramani, seorang associate fellow di Royal United Service for Defense and Security Studies.

Seperti yang dilaporkan Vox, Saat Mikhail Gorbachev mengemukakan komentarnya tentang peran Barat dalam konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung dan bagaimana nanti hasilnya, presiden Ukraina saat itu, Viktuy Yanukovych, menolak tawaran untuk mengintegrasikannya dengan negara yang lebih dekat dengan Barat.

Akibatnya, perpecahan yang terjadi semakin panas; antara mereka yang mendukung kemerdekaan Ukraina, dan mereka yang ingin tetap bersekutu dengan Moskow.

Saat itu, AS memihak Ukraina untuk merdeka, sementara pemberontak Ukraina yang didukung oleh Kremlin tetap berjuang untuk menjadi bagian dari Rusia. Dukungan Barat terhadap separatis Ukraina, sebagian besar datang sebagai sanksi.

Tak lama dari itu, Rusia, di bawah Vladimir Putin, menguasai semenanjung Krimea, dan pada waktu yang sama, melalui The Guardian, Gorbachev berkata bahwa, " kita harus memastikan bahwa kita ketegangan yang muncul saat ini tetap berada di bawah kendali."

 

3 dari 4 halaman

Gorbachev: Perang yang Tidak Masuk Akal

"Kelumpuhan Uni Soviet menghilangkan kepercayaan diri kami, dan cukup menganggu keseimbangan kekuatan dunia," kata Putin, dalam pidatonya dalam satu kesempatan.

24 Februari 2022, hari ketika Rusia menginvasi Ukraina, Putin berpidato dan mengatakan bahwa akhir dari Uni Soviet adalah 'bencana geopolitik terbesar di abad ini', dan juga sebuah "genuine tragedy" bagi jutaan orang Rusia, karena membuat mereka tersebat melintasi perbatasan baru. 

Putin juga menuturkan, bencana itu disebabkan oleh seorang pemimpin yang terlalu tunduk pada tuntutan Barat yang licik dan bermuka dua.

Di Ukraina, Putin berperang dalam bayang-bayang kekaisaran yang dipimpin oleh Gorbachev, setelah memulai perang yang telah menewaskan ribuan orang atas nama memulihkan dominasi Rusia. Namun, perjuangan Putin untuk mengembalikan reformasi Gorbachev melampaui kendali.

Menanggapi pidato Putin, Gorbachev, yang merupakan putra dari seorang ibu yang berasal dari Ukraina dan ayah berasal dari Rusia, mendukung pandangan Putin tentang Ukraina sebagai "bangsa persaudaraan" yang seharusnya berada di Rysia. Dia mendukung pengambilan kekuasaan semenanjung Krimea oleh Putin pada tahun 2014, ia menggambarkan langkah tersebut sebagai representasi keinginan penduduk di kawasan itu. Ia juga mencoba mengecam Barat karena mencoba menarik Ukraina ke NATO, memperingatkan bahwa upaya semacam itu tidak akan membawa apapun kecuali perselisihan antara Ukraina dan Rusia.

"Perang antara Rusia dan Ukraina ini tidak masuk akal," kata Gorbachev.

4 dari 4 halaman

Perang Rusia-Ukraina Tidak Boleh Dibiarkan

Pada periode pasca Perang Dingin, Gorbachev memperingatkan AS atas kemenangan di Berlin. Menurut The Independent, Gorbachev juga mendorong AS untuk mencabut semua sanksi terhadap pejabat Rusia, dan untuk melakukan dialog antar kedua negara, sebagai gantinya. 

Pada waktu yang sama, Gorbachev juga mengatakan bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin, meskipun sikapnya tidak tercela, memiliki kepentingan terbaik untuk Rusia. Seperti yang tercatat pada The Guardian, konflik Ukraina saat itu hanya sebuah alasan bagi Barat untuk "mengorbankan" negara asalnya, kata Gorbachev. 

Konflik yang terjadi antara Ukraina-Rusia tidak hanya memperburuk ketegangan antara AS dan Rusia, tetapi juga Rusia dan Jerman. 

"Selama Rusia dan Jerman saling memahami, selama hubungan tersebut masih baik, maka semua orang akan diuntungkan," tambah Gorbachev, kepada The Independent.

Hingga akhir 2019, Gorbachev mengatakan situasi di Ukraina dapat disebut sebagai "perang panas", yang dapat mengakibatkan akhir peradaban.

"Hal ini tidak boleh dibiarkan," kata Gorbachev. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.