Sukses

Prancis Gratiskan Pembalut Bagi Pelajar Perempuan

Liputan6.com, Paris - Pemerintah Prancis mengumumkan program pembalutgratis bagi pelajar perempuan. Program ini bertujuan agar melindungi kesehatan.

Presiden Prancis Emmanuel Macron berkata isu ini lama tidak dipandang. Macron megungkap isu menstruasi terkait dengan kemiskinan.

"Kemiskinan terkait menstruasi pelajar perempuan adalah sebuah ketidakadilan yang tidak bisa lagi kita toleransi," ujar Presiden Macron melalui Twitter, dikutip Rabu (24/2/2021).

"Kita memutuskan untuk mengambil kebijakan untuk menggratiskan pembalut di CROUS dalam beberapa pekan ke depan," lanjutnya.

CROUS adalah pusat pendidikan di Prancis. Menteri Pendidikan Tinggi Prancis, Frederique Vidal, turut menyambut kebijakan ini.

Menurut laporan DW.com, satu dari tiga pelajar perempuan di Prancis kesulitan membeli pembalut. 30 SMA sudah mengambil kebijakan ini dan ratusan institusi pendidikan lainnya akan segera menyusul.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Cara Tangani Kekerasan Berbasis Gender Online di Tengah Pandemi COVID-19

Masalah lain yang dihadapi perempuan selain kemiskinan dan akses pembalut adalah kekerasan online berbasis gender.

Kasus kekerasan berbasis gender online atau secara daring (KBGO) masih menjadi persoalan yang harus diperhatikan dalam penggunaan internet. Termasuk dalam situasi terkini, di tengah pandemi COVID-19.

Menurut Kepala Sub-Divisi Digital At-Risks, SAFEnet/Southeast Asia Freedom of Expression Network, Ellen Kusuma, tantangan yang harus dihadapi dari kekerasan berbasis gender online mencakup akses informasi, kebebasan berekpresi, dan keamanan online.

"Dalam akses informasi, maka ada tantangan dalam kesenjangan digital, orang-orang dengan akses yang terbatas, sensor online, dan pemadaman internet," jelas Ellen Kusuma, pada presentasi dalam webinar tentang kekerasan berbasis gender online selama pandemi yang digelar virtual, bekerja sama dengan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta pada Rabu, 16 Desember 2020. 

Sementara dalam kebebasan berekspresi, menurut Ellen Kusuma, tantangan dapat terlihat ketika adanya regulasi internet yang problematis, represi pada ekpresi legal, komunikasi yang terpolarisasi, dan situasi yang tidak demokratis.

Kemudian ada tantangan dalam keamanan online, seperti ketika terjadinya serangan atau kekerasan digital, pengawasan massal, penyadapan ilegal, serta ketiadaan regulasi privasi. 

Ellen Kusuma dalam presentasi juga membeberkan contoh-contoh kekerasan berbasis gender online yang meningkat di tengah pandemi COVID-19, yaitu terjadinya penyebaran konten intim non-konsensual (NCII), doxing, impersonate, dan digital exhibition. 

3 dari 3 halaman

Perlunya Wawasan

Ellen menyarankan bahwa "bila ingin menangani kekerasan berbasis gender online, seseorang baiknya memiliki wawasan dasar seperti terkait privasi, yang terkait dengan data pribadi, personally identifiable information (PII), dan level aman dan nyaman". 

Atau terkait dengan consent, "Contohnya bila kita mendengar kasus kekerasan seksual, kita sudah sering mendengar kata Consent. Tetapi consent sendiri ketika diterapkan di dunia digital itu bagaimana, hal itu yang masih menjadi kekurangan," papar Ellen. 

Kemudian terakit dengan ekosistem dunia digital, perlu dipahami bagaimana data mengalir, ruang privat/ ruang publik, platform digital/ISP/pemerintah, dan lalin-lain, menurut Ellen.

"Ketika suatu data bergerak di internet, hal itu bisa melibatkan berbagai pihak, tidak hanya provider internet saja sebagai contohnya," 

Hal selanjutnya yang harus diperhatikan adalah karakteristik dunia digital. 

Ellen menjelaskan, dalam karakteristik dunia digital, "perlu dipahami bagaimana data berpotensi dimultiplikasi, sulit diamati persebarannya, jejak data yang abadi, dan lain-lainnya".

Dalam rilisnya pada 15 Desember 2020, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta mengatakan bahwa webinar yang membahas kasus kekerasan berbasis gender online itu merupakan bagian dari dukungan Pemerintah Inggris untuk kampanye "16 Hari Aktivisme" Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan mengambil tindakan terkait masalah ini di Indonesia.

Kerja sama yang melibatkan kemitraan dengan SAFENet dan GetSafe Online itu berfokus pada pencegahan kekerasan berbasis gender online dan kesadaran keamanan di dunia digital yang lebih luas.

Dijadwalkan akan akan berjalan hingga Maret 2021, proyek itu pun dilakukan dengan total nilai anggaran sebesar £ 80.345, atau setara Rp 1,5 miliar).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.