Sukses

Update 19 Oktober: Kasus COVID-19 Nyaris 40 Juta, Indonesia Tertinggi di ASEAN

Total kasus COVID-19 sudah mencapai 39,8 juta atau naik 200 ribu dari hari sebelumnya. Angka kasus 40 juta sudah makin dekat. Infeksi di Indonesia masuk daftar teratas negara ASEAN.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 di seluruh dunia sudah mencapai 39,8 juta. Angka itu naik 200 ribu dari hari sebelumnya. Total kasus 40 juta sudah di depan mata mengingat kasus di dunia sedang melonjak.

Berdasarkan data Johns Hopkins University, Senin (19/10/2020), tiga kasus tertinggi berada di Amerika Serikat (8,1 juta), India (7,4 juta), dan Brasil (5,2 juta). Tiga kasus kematian tertinggi juga berasal dari negara-negara tersebut.

Kasus COVID-19 di Eropa sedang mulai melonjak. Ini terlihat dari Prancis yang sudah kembali masuk 10 besar dengan 876 ribu kasus. Inggris berada di peringkat 11. 

Negara seperti Belanda mulai mengimbau masyarakat agar tidak travel. Raja dan ratu Belanda yang ketahuan jalan-jalan ke Yunani langsung pulang setelah mendapat banjir kritikan dari parlemen dan masyarakat di media sosial.

Menurut data tersebut, Indonesia kembali menjadi negara dengan kasus nomor 1 terbanyak di dalam daftar negara ASEAN, Totalnya ada 361 ribu kasus. Setelahnya ada Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Brunei, dan  Laos.

Kasus COVID-19 di China terpantau sama sekali tak ada lonjakan. Sejak beberapa pekan terakhir, kasus di China masih berjumlah 90 ribu kasus.

Sementara itu jumlah pasien sembuh di seluruh dunia mencapai 27,4 juta pasien. Tiga pasien sembuh terbanyak berasal dari India (6,5 juta), Brasil (4,5 juta), dan Amerika Serikat (3,2 juta).

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Wamenlu Kritik Indonesia - Jepang Minim Kerja Sama Saat Pandemi COVID-19

Wakil Menteri Luar Negeri RI, Mahendra Siregar mengkritik hubungan kerja sama Indonesia - Jepang di tengah pandemi COVID-19. Menurutnya, kemitraan kedua negara cenderung tak terlihat dan 'hilang'.

Hal itu disampaikan Mahendra saat membukan forum bisnis Indonesia - Jepang yang diselenggarakan bersama oleh KBRI Tokyo, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Kementerian Perdagangan RI pada Rabu 14 Oktober 2020.

Pernyataannya juga disampaikan menyusul rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga ke Indonesia pekan depan, yang dinilai Mahendra sebagai "kunjungan strategis yang merefleksikan kerja sama kedua negara." 

"Kami berharap kunjungan PM Suga dapat menjadi momentum untuk meningkatkan investasi, perdagangan, dan rasa saling percaya antara kedua belah pihak, meski saat ini kita berada di tengah pandemi," jelas Wamenlu RI Mahendra Siregar, dikutip dari tayangan Youtube resmi KBRI Tokyo, Minggu (18/10/2020).

Mahendra menilai bahwa pandemi tak dipandang hanya sebatas sebagai hambatan, namun justru dapat menjadi katalis bagi Indonesia - Jepang untuk "pengembangan kerja sama ke arah yang lebih baik."

Selain itu, Mahendra juga menggarisbawahi tentang produk hukum baru Indonesia, yakni Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Undang-undang yang dalam beberapa waktu terakhir menuai kontroversi tersebut, dinilai Wamenlu RI "mampu memangkas birokrasi yang tidak perlu dan menghambat, menghalau potensi korupsi yang mengganggu iklim bisnis dan investasi Indonesia, serta membuka lapangan pekerjaan baru yang kompetitif dan produktif." 

"Kami berharap bahwa investor, pebisnis, dan pemangku kepentingan Indonesia - Jepang bisa memanfaatkan dan memaksimalkan kesempatan bagus ini," jelasnya.

3 dari 3 halaman

Mahendra Sebut Indonesia - Jepang 'Missing-in-Action'

Kendati demikian, pria yang pernah menjabat sebagai kepala BKPM dan Wakil Menteri Keuagan itu juga menggarisbawahi minimnya kerja sama antara Indonesia - Jepang di tengah pandemi COVID-19, pada saat yang sama ketika kedua negara tengah melakukan peninjauan kembali atas kemitraan ekonomi Indonesia - Jepang atau IJEPA 2.0.

"Karena, kalau boleh jujur, untuk beberapa bulan terakhir, kami bertanya-tanya, 'ke mana hubungan Indonesia yang kuat, strategis, dan telah lama terjalin (dengan Jepang) selama ini di tengah pandemi yang kita alami," jelasnya.

"Tentu bahwa hubungan rutin, yang selama ini telah terjalin, tetap berjalan."

"Namun, hubungan dan kemitraan strategis yang kami harapkan bisa berkembang di tengah krisis pandemi justru tak terliihat. Seolah-olah, missing-in-action," lanjut Wamenlu RI tersebut.

"Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kerja sama dalam hal pengembangan vaksin, pengembangan kapasitas industri farmasi dan peralatan medis, serta kesepakatan travel corridor."

"Begitu juga dengan rencana relokasi (industri) yang mulai muncul dan bergelombang masuk ke Indonesia. Namun praktisnya, sangat sedikit perusahaan yang berasal dari Jepang. Sungguh tidak kompatibel dengan hubungan yang kuat dan kokoh yang telah berusia 60 tahun, di mana Jepang telah menjadi pilar penting saat kedua negara menghadapi krisis moneter Asia 20 tahun lalu, krisis finansial global 12 tahun lalu, dan selalu mendukung ketika ada bencana alam serta kesulitan yang dialami Indonesia dan Jepang."

"Saat ini, melihat lima negara yang menjalin kemitraan erat (dengan Indonesia) selama pandemi, kami menyayangkan bahwa kelima negara tersebut tidak termasuk Jepang."

Oleh karena itu, lanjut Mahendra, kedua negara bertanggungjawab untuk memperbaiki kekurangan yang ada selama ini.

"Mari kita manfaatkan momentum saat ini, dan rencana kedatangan PM Suga ke Indonesia, sebagai katalis untuk meningkatkan hubungan kita di masa depan," jelas Mahendra.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.