Sukses

Aturan Baru, AS Akan Deportasi Mahasiswa Asing yang Hanya Kuliah Online

Mahasiswa yang hanya kuliah online kini terancam deportasi di Amerika Serikat.

Liputan6.com, Washington, D.C. - Pemerintah Amerika Serikat merilis aturan baru yang bisa memulangkan mahasiswa asing di tengah pandemi Virus Corona COVID-19. Aturan tersebut berlaku untuk mahasiswa hanya kuliah online.

Dilaporkan BBC, Selasa (7/7/2020), petugas keimigrasian AS atau Immigration and Customs Enforcement (ICE) menyebut ada kemungkinan deportasi jika aturan tak ditaati. Padahal, banyak universitas yang beralih ke kuliah online.

Universitas Harvard adalah salah satu universitas yang mengumumkan kuliah online pada tahun ajaran baru, musim gugur 2020.

Sebelumnya, Student and Exchange Visitor Program yang berada di bawah ICE justru mengizinkan mahasiswa asing agar melanjutkan semester musim semi dan musim gugur mereka secara online tanpa harus hengkang dari AS.

Tetapi, pengumuman pada Senin 6 Juli kemarin menyatakan mahasiswa yang hanya kuliah online bakal menghadapi "konsekuensi keimigrasian" yang bisa berujung ke deportasi (removal proceeding).

Aturan ini berlaku kepada pemegang visa F-1 dan M-1. Dua visa itu berlaku untuk mahasiswa akademis maupun vokasi.

Pada 2019, Kementerian Luar Negeri AS mengeluarkan 388.839 visa F dan 9.518 visa M.

Mahasiswa asing memberikan kontribusi finansial yang signifikan bagi AS. Pada 2018, total uang dari mahasiswa asing mencapai US$ 45 miliar (Rp 650 triliun).

(US$ 1 = Rp 14.444)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hidup Berdampingan dengan COVID-19 akan Jadi Tatanan Normal Baru

Pandemi Virus Corona COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 10 juta orang di seluruh dunia, dengan hampir 500 ribu kematian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun menyatakan semua negara yang hidup berdampingan COVID-19 akan memasuki tatanan normal baru dalam beberapa bulan mendatang. 

"Pertanyaan kritis yang akan dihadapi semua negara dalam beberapa bulan mendatang adalah bagaimana hidup berdampingan dengan virus ini. Itu merupakan tatanan normal baru," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dilansir Xinhua, Selasa 30 Juni 2020.

Meskipun banyak negara telah membuat beberapa kemajuan dalam upaya melawan COVID-19, sambungnya, pandemi tersebut masih menyebar dengan cepat di seluruh dunia. 

"Pandemi ini telah memunculkan sisi kemanusiaan yang terbaik dan yang terburuk," lanjutnya. "Di seluruh dunia, kita telah melihat kekuatan, daya cipta, solidaritas, dan kebaikan hati yang mengharukan. Namun, kita juga telah melihat tanda-tanda mengkhawatirkan dari stigma, informasi keliru, dan politisasi pandemi itu."

Dia mendesak semua negara untuk memprioritaskan lima langkah untuk menyelamatkan nyawa, termasuk memberdayakan masyarakat dan individu untuk melindungi diri mereka sendiri dan orang lain, menekan penularan virus, menyelamatkan nyawa, misalnya dengan penggunaan oksigen dan deksametason, mempercepat penelitian COVID-19, serta memperkuat kepemimpinan politik dan solidaritas.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.