Sukses

Raup Untung Rp 20 M, Bobby Singh Tipu Pemerintah Australia Lewat Sekolah Palsu

Bobby Singh, seorang pria yang mendapat keuntungan hingga Rp 20 M setelah berhasil menipu pemerintah Australia selama empat tahun.

Liputan6.com, Melbourne - Selama empat tahun, Bobby Singh mendapatkan penghasilan lebih dari Rp 20 miliar dari subsidi Pemerintah Australia bagi mahasiswa yang terdaftar di "sekolah kejuruan" abal-abal di Melbourne.

Sekolah itu sama sekali tidak memiliki mahasiswa. Penipuan ini pun terbongkar dari sebuah percakapan telepon yang berlangsung selama 4 menit 38 detik.

Pada 1 Juli 2015, Singh mendapat panggilan telepon dari seorang petugas Badan Otoritas Pemantau Mutu Pendidikan Australia (ASQA).

"Selamat pagi Pak Singh. Saya menelpon karena saya diminta untuk memantau fasilitas sekolah Anda," kata petugas bernama Kate Owen kepada Singh.

"Dari waktu ke waktu, kami memang datang ke lokasi, mengecek berbagai dokumen, memeriksa apakah aturan ditaati atau tidak."

Dikutip dari ABC Indonesia, Rabu (6/11), Bobby Singh adalah pemilik "sekolah kejuruan" bernama St Stephen Institute of Technology di Melbourne.

Saat itu, Singh mengatakan bahwa dia siap menerima kunjungan tim pemantau.

Ketika pembicaraan selesai, Singh langsung menelpon mitranya Mukesh Sharma, yang menjalankan sekolah lain bernama Symbiosis Institute of Technical Education.

Dia mengatakan kepada Sharma untuk bersiap-siap, karena akan ada pemeriksaan.

Yang tidak diketahui Singh dan Sharma ketika itu adalah bahwa pembicaraan mereka direkam oleh penyidik federal.

Pembicaraan itu kemudian menjadi bukti penipuan yang dilakukan Singh dan rekannya terhadap Pemerintah Australia. Mereka menipu untuk mendapatkan subsidi lebih dari $AUD 2 juta (sekitar Rp 20 miliar).

Bentuk penipuan ini dikenal dengan istilah "sekolah abal-abal".

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Awal Mula Bisnis Sekolah 'Gadungan'

Ketika akhirnya kasusnya dibawa ke pengadilan, Hakim Michael O'Connell mengakui bahwa Bobby Singh "sebenarnya sudah banyak melakukan hal yang baik sebelumnya."

Singh tiba di Australia tahun 1999 ketika berusia 18 tahun, dan kemudian terlibat dalam beberapa kegiatan bisnis wirausaha.

Dia menjalankan bisnis keamanan di tahun 2003. Di tahun 2005 dia menjadi subkontraktor bagi Australia Post, dengan menjadi pengirim barang ke berbagai daerah di Melbourne.

Menurut berkas pengadilan, usahanya itu berkembang pesat dengan nilai lebih dari $AUD 1,75 juta.

Tahun 2011, Singh menemukan "bisnis baru", yaitu menjadi pemilik sebuah "sekolah kejuruan" bernama St Stephen Institute of Technology.

Singh melihat hal ini sebagai sebuah kesempatan baru.

3 dari 4 halaman

Perubahan Gaya Hidup

Ketika petugas ASQA menelepon Singh di tahun 2015, pihak berwenang menduga bahwa Singh akan panik.

Detektif Danielle Woodward sudah memantau Singh dan rekannya selama enam bulan setelah adanya laporan mengenai surat kelakuan baik mereka.

Petugas mencurigai adanya beberapa hal yang aneh yang sedang terjadi.

Singh tinggal di rumah mewah dengan mobil Ferrari, dan sumber kemewahannya tidak jelas asalnya.

Sekolahnya berada di lokasi yang aneh dan aktivitasnya tidak sebanyak sekolah normal dengan ratusan orang mahasiswa.

Singh kemudian mulai mempersiapkan kunjungan tim ASQA.

ABC mendapatkan hasil pembicaraan telepon dan rekaman video yang menunjukkan usaha penipuan Singh dan rekan-rekannya.

Di hari ketika tim berkunjung, Singh melakukan beberapa pembicaraan telepon dengan anggota sindikatnya Mukesh Sharma dan Rakesh Kumar untuk mempersiapkan dokumen.

Dalam salah satu pembicaraan, salah seorang anggota sindikat mengatakan kepada Singh, "kita tahu bahwa yang kita lakukan ini secara hukum dan secara etika salah."

Ternyata dari berbagai rekaman rahasia yang mereka lakukan di sekolah tersebut, kegiatan pengajaran tidaklah berlangsung di sana.

Bentuk penipuan seperti ini dikenal oleh mereka yang bekerja di sektor sekolah kejuruan di Australia sebagai "sekolah hantu."

"Sekolah itu seolah-olah melakukan kegiatan," kata Larissa Kernebone, seorang mantan pengawasa ASQA yang sekarang menjadi konsultan sekolah kejuruan.

4 dari 4 halaman

Cara Mereka Melakukan Penipuan

Menurut polisi ada dua bentuk penipuan yang dilakukan Singh dan teman-temannya.

Di Australia ada sistem bantuan keuangan untuk siswa yang dikenal dengan istilah VET FEE-HELP dimana mahasiswa internasional bisa bersekolah di sekolah kejuruan swasta dengan bantuan pinjaman dari pemerintah.

Sekolah kejuruan kemudian mendapat dana dari pemerintah tergantung dari jumlah murid yang mendaftar.

"Mereka pada dasarnya mendapat uang dengan mudah," kata Detektif Woodward.

"Mereka mengambil uang tersebut dan pada dasarnya mengatakan kepada siswa bahwa anda tidak perlu datang, dan mereka akan memberikan sertifikat."

Dampak dari penipuan ini sangat buruk bagi beberapa mahasiswa internasional.

Terungkapnya kasus Singh pada waktu itu menimbulkan pemberitaan besar, dan membuat pemerintah Australia kemudian menghentikan pendanaan bagi mahasiswa lewat VET FEE-HELP.

Bentuk penipuan kedua adalah yang melibatkan mahasiswa yang tinggal di Australia.

Pemerintah negara bagian Victoria juga memberikan subsidi bagi mahasiswa yang masuk ke sekolah kejuruan.

"Siswa domestik ini banyak yang tidak tahu bahwa mereka terdaftar di sekolah tersebut," kata Woodward.

Salah seorangnya adalah Haripal Chahal yang baru saja menjadi warga negara Australia ketika rumahnya didatangi dua petugas polisi federal bulan Agustus 2015.

"Saya betul-betul ketakutan, karena saya takut mereka akan mendeportasi saya," kata Chahal kepada ABC.

Kedua petugas tersebut kemudian bertanya mengenai sekolah yang pernah diikuti dan sertifikat yang dimilikinya.

"Saya menunjukkan semua dokumen yang saya punyai dan mereka bertanya apakah saya pernah mengikuti kursus lainnya," kata Chahal lagi.

Chahal tidak pernah mendengar nama sekolah kejuruan St Stephen Institute of Technology yang disebut polisi.

Chahal terkejut ketika ditunjukkan bahwa dia pernah sekolah di situ, karena ada dokumen yang berisi data diri dan tandatangannya.

Dia tidak mengetahui bahwa identitasnya sudah dicuri dan dia menduga lewat petisi yang ditandatangani dalam sebuah acara yang melibatkan komunitas asal India.

Dia termasuk satu dari 40 mahasiswa yang kemudian memberi kesaksian di pengadilan.

"Saya senang memberikan seluruh informasi yang saya punyai. Tidak ada yang perlu saya tutupi," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.