Sukses

Tak Terima Dituduh 'Penjahat Perang', Rusia Keluar dari ICC

Rusia mengaku kecewa dengan kinerja Mahkamah Kriminal Internasional yang selama 14 tahun hanya menyelesaikan beberapa kasus saja.

Liputan6.com, Moskow - Rusia mengatakan akan segera mengundurkan diri dari Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC), atas perintah Presiden Vladimir Putin.

Menurut keterangan Kementerian Luar Negeri Rusia, yang dikutip dari CNN, Kamis (17/11/2016), ICC dianggap gagal memenuhi 'harapan' untuk menjadi pengadilan internasional yang otoritatif, adil, dan independen.

Menlu itu mendeskripsikan ICC sebagai organisasi yang tidak efektif. "Selama 14 tahun pengadilan ini berjalan mereka hanya dapat menyelesaikan 4 kasus yang menghabiskan dana miliaran dolar," kata Kemlu Rusia dalam sebuah pernyataan.

Rusia juga mengkritik penangan konflik selama 5 hari antara pemerintahan Putin dengan Georgia pada 2008. 

"Keanggotaan Statuta Roma adalah keputusan sendiri. Tidak ada paksaan dan merupakan hak prerogatif semua negara. Mahkamah Pidana Internasional menghormati kedaulatan masing-masing anggota," kata Juru Bicara ICC, Fadi El Abdallah.

Pada Rabu 16 November 2016 Putin memerintahkan Menlu Rusia untuk menginformasikan pada Sekjen PBB bahwa negaranya menarik dukungan dari Statuta Roma -- perjanjian yang mendirikan ICC.

Rusia bergabung dan menandatangani perjanjian itu pada 2000, tapi tidak mengesahkannya.

Sementara 123 negara lainnya telah mengesahkan Statuta Roma. Awalnya Amerika Serikat juga ikut serta dalam penandatanganan perjanjian, namun pada 2002 -- di bawah kepemimpinan Presiden George W Bush -- mereka 'menarik' kembali keikutsertaan.

Berpusatkan di Den Haag, Belanda, ICC beranggotakan 124 negara dari seluruh dunia. Pengadilan internasional ini merupakan 'pilihan terakhir' untuk menyelesaikan masalah genosida, kejahatan HAM, kejahatan perang, dan agresi.

Perintah pengunduran diri itu dikeluarkan oleh Putin beberapa hari setelah ICC mengeluarkan putusan yang memberatkan Rusia terkait Crimea.

"Situasi di Crimea dan Sevastopol sama besarnya dengan ketegangan di beberapa wilayah lainnya seperti Suriah, " kata ICC dalam sebuah pernyataan.

Rusia mencaplok Crimea-- daerah kekuasaan Ukraina -- sehingga mengakibatkan memanasnya konflik antara kedua negara pada 2014. 

Pada 2015 pemimpin dunia berhasil 'memutus' ketegangan antara Moskow dan Kiev. Namun kesepakatan itu tidak berlangsung lama akibat adanya kekerasan yang terus memanas di zona konflik di Ukraina timur, dan pada 2016 korban serta kerugian akibat perseteruan meningkat. 

Perintah yang dikeluarkan oleh Presiden Putin menjawab tuduhan oleh Presiden Prancis Francois Hollande pada Oktober lalu yang mengatakan bahwa Moskow bersalah atas perang Suriah.

Putin membatalkan kunjungannya ke Paris setelah Hollande mengatakan kepada stasiun televisi Prancis bahwa Rusia adalah dalang penyerangan di Aleppo.

Tidak hanya itu, Presiden Prancis itu juga mengatakan bahwa Putin melakukan 'kejahatan perang' dan harus diadili di Mahkamah Pidana Internasional. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.