Liputan6.com, Jakarta Penyandang disabilitas mental dan intelektual kerapkali menjadi rekan dalam kehidupan sosial. Mereka berhak atas berbagai hak hidup, tak terkecuali hak beragama.
Dalam konteks hak beragama, orang dengan gangguan jiwa dan penyandang disabilitas mental juga perlu mengenal dan mengamalkan kewajiban syariat sesuai kapasitasnya, tak terkecuali berkaitan dengan ibadah sholat. Nah, bagaimana kewajiban sholat untuk ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) dan penyandang disabilitas intelektual?
Baca Juga
Dikutip NU, sholat yang bersifat fardlu ‘ain diwajibkan atas pribadi mukallaf. Syarat yang membuat seseorang wajib menunaikan shalat secara umum dinyatakan Syekh Abu Syuja’ dalam Matnut Taqrîb:
Advertisement
وَشَرَائِطُ وُجُوبِ الصَّلَاةِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: اَلْإِسْلَامُ وَالْبُلُوغُ وَالْعَقْلُ، وَهُوَ حَدُّ التَّكْلِيفِ
Artinya, “Dan syarat wajib shalat ada tiga (3): beragama Islam, baligh, dan berakal, dan itulah batasan taklif. (Abu Syuja’ Ahmad bin Husain, Matn Abi Syuja’ Al-Ghâyah wat Taqrîb, halaman 8).
Diskusi seputar disabilitas mental dan intelektual berada dalam domain syarat “berakal” dalam ibadah tersebut. Namun, apa tolok ukur “berakal” dalam syariat?
Pendapat Imam Al-Amidi berikut bisa dirujuk:
اتَّفَقَ الْعُقَلَاءُ عَلَى أَنَّ شَرْطَ الْمُكَلَّفِ أَنْ يَكُونَ عَاقِلًا فَاهِمًا لِلتَّكْلِيفِ، لِأَنَّ التَّكْلِيفَ وَخِطَابَ مَنْ لَا عَقْلَ لَهُ وَلَا فَهْمَ مُحَالٌ
Artinya, “Ulama bersepakat bahwa syarat mukallaf adalah ia berakal (mampu secara intelektual) dan memahami taklif syariat, karena taklif dan berbicara kepada orang yang tidak berakal (terganggu intelektualnya) dan tidak mampu memahami pembicaraan itu mustahil.” (Syekh Ali Al-Âmidi, Al-Ihkâm fî Ushûlil Ahkâm, [Beirut, Al-Maktabul Islâmi, juz I, halaman 150).
Untuk dapat terkena taklif , seseorang harus “berakal” dalam artian mampu secara intelektual, mampu memahami kewajiban ibadah, dan mampu memahami serta mengamalkan syarat dan rukunnya.
Istilah ODGJ dalam Kitab Fiqih
Definisi fiqih klasik perihal disabilitas mental dan intelektual, antara lain adalah junun atau gila; sakran atau mabuk; ighma’ atau ayan/epilepsi; serta ahmaq atau “sangat bodoh”.
ODGJ dapat diserupakan dengan kasus yang ada dalam kitab-kitab fiqih klasik tersebut. Baik diserupakan dengan majnun atau gila, baik yang sifatnya menetap ataupun sesaat.
Dalam referensi kontemporer–yang menurut penulis cukup mewakili–ada istilah al-ma’tûh yang dijelaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili:
اَلْمَعْتُوهُ: هُوَ مَنْ كَانَ قَلِيلُ الْفَهْمِ، مُخْتَلِطُ الْكَلَامِ، فَاسِدُ التَّدْبِيرِ لِاضْطِرَابِ عَقْلِهِ، سَوَاءٌ مِنْ أَصْلِ الْخِلْقَةِ أَوْ لِمَرَضٍ طَارِئٍ
Artinya, “Al-Ma’tûh adalah orang yang kemampuan pemahamannya sedikit, pembicaraannya kacau, susah mengatur diri karena gangguan akalnya. Baik itu dari lahir atau karena penyakit yang datang.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islâmi wa Adillatuh, juz I, halaman 304).
Istilah al-ma’tûh mencakup pemahaman bahwa adanya gangguan mental dan intelektual itu ada yang akibat penyakit baik organik atau tidak, dan juga ada yang secara genetik, seperti contoh pada down syndrome dan bentuk retardasi mental lainnya.
Advertisement
Tidak Wajib Menjalankan Sholat
Merujuk kitab fiqih klasik, jika memahami ODGJ sebagai majnun, mereka pun pada dasarnya tidak wajib menjalankan shalat, seperti dinyatakan dalam Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari:
فَلَا تَجِبُ عَلَى كَافِرٍ أَصْلِيِّ وَصَبِيِّ وَمَجْنُونٍ وَمُغْمَى عَلَيْهِ وَسَكْرَانَ بِلَا تَعَدٍّ لِعَدَمِ تَكْلِيفِهِمْ
Artinya, “Shalat tidak wajib dilakukan oleh orang kafir asli, anak-anak, orang gila, ayan, dan mabuk yang tak disengaja, karena hilangnya sifat taklif dari mereka.” (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’în pada Hâsyiyyah I’ânatut Thâlibîn, Juz I, halaman 21).
Sementara ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual yang belum masuk kategori tamyiz dan belum terkena taklif adalah yang kesulitan melakukan perawatan dasar diri sendiri, seperti makan, minum, mandi, berpakaian, atau kegiatan sederhana lainnya. Golongan inilah yang tidak mendapat beban wajib ibadah, sehingga taklif mereka hanya sejauh kemampuan mereka memahami kewajiban shalat dan mampu melaksanakannya.
Namun untuk ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual ini perlu diperinci. Seorang dengan diagnosis gangguan jiwa tertentu, belum tentu tidak dapat memahami perintah dan kewajiban ibadah. Misalnya orang dengan psikosis atau skizofrenia, dengan gangguan waham maupun halusinasi yang telah terkontrol dalam perawatan obat, memiliki kecakapan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Begitupun orang dengan disabilitas intelektual, perlu ditinjau dulu sejauh mana kemampuan mereka dapat memahami kewajiban ibadah shalat.
ODGJ dalam UU nomor 18 tahun 2014 adalah "orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia."
Sehingga seseorang dapat disebut mengidap gangguan jiwa, adalah jika terdapat “gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna”, dan “terhambat dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.
Perlu Diagnosis Tenaga Kesehatan Jiwa Profesional
Untuk menilai gejala dan perubahan perilaku yang bermakna seperti itu diperlukan diagnosis dari tenaga kesehatan jiwa profesional, baik oleh dokter maupun psikolog.
Perlu diketahui, pedoman diagnosis kejiwaan yang dipakai luas di Indonesia adalah PPDGJ III atau DSM IV, dan ada ragam jenis gangguan jiwa antara lain: akibat penggunaan zat, akibat gangguan fisik, kecanduan, gangguan perasaan, gangguan perilaku, sampai retardasi mental. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang disebut “gila” oleh masyarakat umum tidak satu sebab dan satu dimensi.
Sedangkan untuk disabilitas intelektual, perlu dirinci apakah kategori disabilitas intelektual mereka itu ringan, sedang, atau berat, yang tidak sama dengan apa yang biasa dinilai masyarakat sebagai “gila”.
Untuk itu, menurut Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi, Pegiat Kajian Al-Qur’an dan Hadits, berkaitan sholat bagi disabilitas mental maupun intelektual, hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, memastikan sejauh mana kemampuan ODGJ ini untuk memahami dan menunaikan taklif ibadah shalatnya. Diagnosis dari tenaga kesehatan dapat sangat dibutuhkan di sini, termasuk tindakan terapi yang dibutuhkan.
Kedua, melakukan pendampingan untuk ibadah sesuai kapasitas mereka. ODGJ dan pengidap disabilitas intelektual dibimbing oleh keluarga dan caregiver sesuai kapasitas mereka.
Ketiga, memberikan kesempatan ODGJ dan penyandang disabilitas intelektual untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan sesuai kemampuan. Mereka yang dinilai tidak dapat menjalankan shalat dengan syarat dan rukun yang lengkap, tidak memiliki kewajiban qadha’ shalat.
"Untuk gangguan jiwa non-psikosis, seperti pada depresi, kecemasan, atau gangguan perilaku lain, kiranya lebih utama untuk fokus mendampingi mereka dalam proses pemulihan diri secara mental, dan tidak menekan mereka untuk beribadah apalagi menstigma gangguan yang mereka alami akibat 'kurang ibadah'," jelasnya.
ODGJ maupun penyandang disabilitas intelektual memiliki hambatan yang nyata dalam kehidupan sosialnya, sehingga proses pendampingan maupun pemulihannya ditujukan agar ia dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari, termasuk aktivitas sebagai muslim di masyarakat.
"Penyandang gangguan jiwa pun bukan karena kurangnya ibadah, sehingga semata mengatakan “orang yang terkena gangguan jiwa karena kurang ibadah” juga tidak relevan, di mana penderitanya justru memerlukan penanganan medis maupun psikologis secara profesional. Hal ini demi menghapus stigma dan mewujudkan masyarakat yang inklusif terhadap disabilitas," pungkas Ustaz Iqbal.
Advertisement