Sukses

4 Rekomendasi Film dan Dokumenter Menginspirasi yang Dibintangi Pemeran Penyandang Disabilitas

Simak rekomendasi tujuh film dan dokumenter yang diperankan oleh penyandang disabilitas di sini.

Liputan6.com, Jakarta - Industri film kini telah berkembang dalam banyak hal, termasuk dalam mengangkat isu disabilitas ke tema tontonan-tontonan layar lebar.

Sayangnya, industri film bisa disebut belum inklusif. Sebab, kita jarang melihat mereka memberi kesempatan kepada aktor dan aktris penyandang disabilitas itu sendiri yang membintangi film.

Akan tetapi, beberapa film dan dokumenter ini telah memulai langkah yang baik menuju industri yang lebih inklusif. Melansir dari Disability Horizons, simak rekomendasi tujuh film dan dokumenter yang diperankan oleh penyandang disabilitas di sini.

1. CODA, Diperankan Penyandang Disabilitas Tuli

CODA – yang merupakan singkatan dari Children of Deaf Adults (Anak dari Orangtua Tuli) – adalah film drama komedi yang ditulis dan disutradarai oleh Sian Heder. Ini adalah remake berbahasa Inggris dari film Prancis-Belgia 2014, La Famille Bélier.

Ruby Rossi (diperankan oleh aktor Emilia Jones) adalah putri dari orangtua tuli. Ia juga memiliki saudara perempuan dari saudara laki-laki yang tuli. Singkatnya, Ruby adalah satu-satunya anggota keluarga yang bisa mendengar.

Ia berusaha membantu bisnis perikanan keluarganya yang berjuang, sambil mengejar cita-citanya sendiri menjadi seorang penyanyi.

Film ini menampilkan aktor tuli Marlee Matlin sebagai ibu Ruby, Jackie, Troy Kotsur sebagai ayah Ruby, Frank, dan Daniel Durant sebagai saudara laki-laki Ruby, Lee.

Pada tahun 2022, CODA memenangkan tiga Academy Awards termasuk Film Terbaik, Penulisan Terbaik, dan Aktor Pendukung Terbaik untuk Troy Kotsur.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

2. The Peanut Butter Falcon, Dibintangi Penyandang Down Syndrome

Film ini bercerita tentang karakter aktor Zach Gottsagen, Zak, saat dia melarikan diri dari fasilitas tempat tinggalnya di mana dia ditinggalkan oleh keluarganya karena Down Syndrome.

Diceritakan juga, Zak melalui perjalanannya untuk mengejar mimpi menjadi pegulat profesional.

Dalam perjalanannya, dia bertemu dan berteman dengan seorang pria bernama Tyler (Shia LaBeouf) yang juga sedang dalam pelarian.

Akhirnya, keduanya menjadi sahabat saat Tyler membantu Zak mencapai mimpinya.

Zach Gottsagen sendiri merupakan aktor penyandang disabilitas Down Syndrome asal Florida, Amerika Serikat (AS). 

Pada awalnya, tak mudah mendapatkan dana untuk produksi film ini. Banyak perusahaan yang enggan menjadikan Zack sebagai pemeran utama karena ia merupakan penyandang disabilitas.

Mereka menganggap, memiliki aktor dengan Down Syndrome dalam film tidak akan membuat film laku.

Singkat cerita, realitas berkata lain. Ketika The Peanut Butter Falcon dirilis di AS pada Agustus 2019, film ini telah menghasilkan 19 juta dollar AS (atau sekitar lebih dari Rp280 miliar) di bioskop.

Pencipta film ini, Tyler Nilson dan Michael Schwartz, juga telah memenangkan beberapa penghargaan di berbagai festival film. Sebut saja, Best Narrative Feature di Nantucket Film Festival dan penghargaan Narrative Spotlight di SXSW Film Festival.

3 dari 4 halaman

3. Hearing Is Believing, Dokumenter Musisi Penyandang Disabilitas Netra

Hearing Is Believing adalah dokumenter 2016 dari produser pemenang penghargaan, Lorenzo DeStefano.

Dokumenter ini berupaya memperkenalkan dunia kepada musisi dan komposer muda penyandang disabilitas netra yang menakjubkan, Rachel Flowers.

Film ini menunjukkan kecintaan Rachel yang mendalam pada musik, yang menerangi ikatan keluarga dan kreativitasnya.

Musisi hebat yang tampil bersama Rachel termasuk pemenang Grammy Dweezil Zappa, Arturo Sandoval, Stevie Wonder, pianis jazz nominasi Grammy Taylor Eigsti, mendiang ikon Progressive Rock Keith Emerson, dan 50 anggota Santa Barbara Youth Symphony.

Rachel Flowers merupakan seorang wanita yang lahir 15 minggu lebih awal pada 1993 silam. Karena ini, ia kehilangan penglihatannya saat masih bayi.

Ketika Rachel berusia dua tahun, ibu Rachel menunjukkan cara memainkan piano untuk lagu "Twinkle Twinkle Little Star". Rachel segera mempelajarinya dan lagu-lagu lain yang ia dengar.

Seiring dengan studinya tentang dasar-dasar piano dan musik, Rachel mempelajari Kode Musik Braille dan aplikasi musik komputer yang adaptif.

4 dari 4 halaman

4. A Space In Time, Dokumenter Anak dengan Kondisi Genetik

Dokumenter menyentuh ini bercerita tentang dua saudara, Theo dan Oscar, dengan Duchenne muscular dystrophy atau DMD. Kondisi DMD adalah kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen dystrophin, protein yang penting bagi fungsi otot, seperti melansir Klikdokter.

Adapun komplikasi yang dialami orang dengan DMD adalah kelumpuhan, gangguan respirasi, gangguan kardiovaskular, dan masalah dalam menelan.

Dalam dokumenter ini, kedua saudara itu menjalankan hidup mereka dengan kekuatan cinta dan kebersamaan. Ini adalah film dokumenter yang sangat pribadi, serta meningkatkan kesadaran tentang penyandang disabilitas DMD.

Dokumenter ini juga menunjukkan kedua orangtua Theo dan Oscar yang tak menyerah.

Keluarga mereka memulai perjalanan untuk menciptakan rumah ajaib bagi kedua putra. Tujuannya, tak lain untuk memelihara agar tidak terjadi kelumpuhan yang lebih parah.

Mereka pun menyewa arsitek untuk membuat rumah yang dibangun khusus dan telah merevolusi ide mereka sendiri mengenai kehidupan yang indah.

Intim, jujur, dan hangat, dokumenter ini juga menunjukkan bahwa disabilitas tidak harus identik dengan tragedi yang menyedihkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.