Sukses

Kolesterol Tinggi yang Tak Ditangani Bisa Picu Disabilitas, Dokter: Tergantung Lokasi Sumbatan

Penyakit kolesterol tinggi atau hiperkolesterolemia dapat berujung pada kondisi disabilitas. Hal ini disampaikan dokter spesialis gizi klinik Putri Sakti.

Liputan6.com, Jakarta Penyakit kolesterol tinggi atau hiperkolesterolemia dapat berujung pada kondisi disabilitas. Hal ini disampaikan dokter spesialis gizi klinik Putri Sakti.

“Bisa saja (berujung disabilitas) karena penumpukan lemak di pembuluh darah itu kan bisa sampai pecah. Itu kan menjadi kaku, kalau kaku aliran darahnya enggak bagus jadi memicu berbagai penyakit kalau (sumbatannya) di jantung ya serangan jantung mendadak,” kata Putri dalam acara Halal Bihalal dan Health Talkshow Nutrive Benecol di Jakarta Pusat, Selasa 16 Mei 2023.

“Kalau (sumbatannya) di otak, otak ini kan sumber saraf di mana-mana ya jadi kalau sampai ada yang pecah tergantung daerah mana yang kena dan itu bisa memicu disabilitas,” tambahnya.

Dari penyakit kolesterol tinggi ini, ada yang mengalami kelumpuhan separuh badan, ada pula yang kaku dan ototnya gampang kram. Gangguan fisik dan kondisi disabilitas tergantung di mana lokasi sumbatan akibat penumpukan lemak atau kolesterol.

“Risiko untuk disabilitas otomatis ada tergantung di mana lokasi penyumbatan dan pecahnya. Kedua, terlambat atau tidaknya terapi, ketiga balik lagi gaya hidupnya menunjang atau tidak,” jelas Putri.

Putri menambahkan, kolesterol tinggi pada tahap awal acap kali tidak menunjukkan gejala.

Namun, saat kolesterol sudah menumpuk di dinding pembuluh darah, maka ada setidaknya lima gejala yang mulai bisa dirasakan. Kelima gejala itu adalah:

  • Leher, pundak, dan tengkuk terasa pegal
  • Mudah kram terutama di malam hari
  • Nyeri dada
  • Sering mengantuk
  • Mudah lelah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Disebut Silent Killer

Lima gejala di atas bisa terjadi setelah adanya penumpukan lemak. Artinya, penyakit kolesterol tinggi yang diidap sudah tidak berada dalam tahap awal.

Tahap awal yang cenderung tak bergejala membuat penyakit ini disebut silent killer atau pembunuh diam-diam.

“Kenapa kolesterol itu disebut silent killer atau silent disease? Karena pada tahap awal, kolesterol tinggi itu tidak bergejala jadi membuat kita suka abai. Kadang karena enggak ada gejala kita enggak pernah cek darah kan,” kata Putri.

Umumnya, orang-orang baru memeriksakan diri ketika sudah ada gejala. Padahal ketika gejala muncul, kolesterol atau lemak sudah menumpuk di pembuluh darah. Maka dari itu, kolesterol tinggi disebut sebagai silent killer.

3 dari 4 halaman

Bisa Berujung pada Penyakit Serius

Selain disabilitas, kolesterol tinggi juga bisa berujung pada penyakit serius seperti sakit jantung dan stroke. Ini tergantung pada lokasi penumpukannya.

“Tergantung penumpukannya di mana, kalau sudah dibilang silent killer, itu berarti sudah memicu penyakit.”

Maka dari itu, untuk mengetahui adanya penyakit kolesterol sejak dini maka cek darah menjadi penting.

“Bagusnya, kita dari usia 20 tahun ke atas minimal setahun sekali harus cek, apalagi kalau kita punya riwayat keluarga, entah kolesterolnya gampang tinggi, jantung, stroke, darah tinggi ya kita mulai aware hingga Stroke aja,” imbau Putri.

4 dari 4 halaman

Jaga Pola Makan dan Rutin Aktivitas Fisik

Guna mencegah kolesterol tinggi, Putri pun menyarankan agar masyarakat menjaga pola makan dan rutin melakukan aktivitas fisik sehari-hari. Misalnya jalan cepat selama 30 menit sehari.

“Misalnya kalau kita lagi jam istirahat kerja atau lagi di mal, bisa jalan cepat selama 30 menit agar tubuh tetap aktif,” ujar Putri memberi saran.

Sementara, pengaturan pola makan atau diet bukan berarti harus menghentikan asupan lemak sepenuhnya. Pasalnya, kolesterol dalam jumlah yang cukup masih dibutuhkan tubuh salah satunya untuk membantu produksi vitamin D.

“Kolesterol kita tetap perlu ya karena fungsinya sangat banyak kalau kita terlalu diet ketat misalnya rebus kukus aja, nah itu sebetulnya kalau saya pribadi kurang menganjurkan,” ujar Putri.

“Walaupun lemak atau kolesterol menjadi lebih rendah tapi kita kan butuh mindful eating juga. Jadi tetap konsumsi makanan yang seimbang, tetap variasikan makanan tapi pastikan agar cara pengolahannya tepat,” lanjutnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.