Sukses

Ahli Khawatirkan Keberlangsungan Terapi pada Anak-Anak Disabilitas

Saat klinik dokter di Inggris kembali dibuka, banyak orang tua yang enggan memeriksakan anak mereka karena takut tertular virus corona

Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 juga berdampak pada anak-anak disabilitas. Saat klinik dokter di Inggris kembali dibuka, banyak orang tua yang enggan memeriksakan anak mereka karena takut tertular virus kata Kim Jefferies, CEO Brighton Centre.

“Banyak perkembangan otak terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak. Jika Anda melewatkan jendela peluang kritis itu, ketika menunda masalah yang dapat diatasi, maka akan menjadi lebih sulit dan lebih mahal untuk campur tangan di kemudian hari," jelas Jefferies kepada Disability Scoop.

Sekitar 90 persen perkembangan otak anak, terjadi pada usia 5 tahun. Studi menunjukkan terapi lebih awal (bahkan lebih baik lagi sebelum anak didiagnosa resmi) akan lebih efektif daripada terapi setelah lewat usia ini.

Pemeriksaan rutin sejak bayi lahir akan menunjukkan pada Anda hal-hal yang harus Anda lakukan di kemudian hari. Pada setiap jadwal pertemuan, dokter akan memberi tahu para orang tua indikator yang harus dicapai oleh anak mereka agar mendapat diagnosis resmi jika suatu waktu ditemukan pada anaknya memiliki masalah perkembangan.

Misalnya dalam kasus Nathan DeKing, yang berusia 18 bulan, putra dari Sarah Pollock. Saat Sarah membawa putranya ke dokter anak untuk pemeriksaan rutin, dokter menanyakan berapa banyak kata yang bisa diucapkan putranya, dengan 'mama (ibu)' dan 'dada (ayah)' tidak masuk hitungan.

Ternyata Nathan baru bisa mengucapkan dua atau tiga kata. Dokter menjelaskan kalau di usianya, seharusnya Nathan sudah memiliki sekitar 20 kosa kata tanpa menghitung kata 'ibu' dan 'ayah'. Ini merupakan indikator awal yang menunjukkan kalau Nathan memiliki beberapa masalah.

Sehingga dokter anak tersebut merujuk Nathan ke Brighton Centre, sebuah organisasi nirlaba berusia 50 tahun yang menyediakan perawatan di rumah untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, seperti gangguan spektrum autisme dan cacat intelektual dan perkembangan, atau Intellectual development disorder (IDD).

Berkat terapi dini pada Nathan, saat ini usianya 2 tahun, kosakata Nathan telah berkembang hingga lebih dari 50 kata.

 

Simak Video Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kasus rujukan turun drastis

Sebelum virus, Brighton menerima sekitar 350 rujukan sebulan, kata Jefferies. Pada bulan Maret, rujukan turun 100, dan terus turun sejak itu, bahkan setelah status lockdown diangkat.

Di waktu normal, sekitar 60 anggota staf Brighton yang terdiri dari terapis fisik, wicara, okupasi, dan lain-lain, pergi ke rumah sekitar 20 anak per minggu untuk memberikan terapi rutin di lingkungan alami mereka. Para orang tua belajar bagaimana menggabungkan terapi dalam kehidupan sehari-hari mereka, kata Jefferies.

Ketika pandemi melanda, Brighton beralih ke teleterapi, dengan terapis melatih anak-anak dan orang tua melalui komputer. Hal ini bisa diterapkan untuk banyak keluarga, namun sekitar sepertiga dari mereka belum bisa mengakses dunia virtual tersebut.

Sehingga hal ini cukup membuat para terapis khawatir pada anak-anak yang harusnya membutuhkan terapi namun tidak bisa mendapatkannya karena pandemi. Sehingga dikhawatirkan akan tertinggal atau bahkan kehilangan kemampuan yang telah mereka peroleh.

"Kami khawatir anak-anak ini akan muncul di sekolah umum atau tempat penitipan anak dengan keterbelakangan yang jauh lebih besar, dan kemudian sekolah harus menanggung beban itu," katanya. Selain itu, biaya untuk mendidik siswa berkebutuhan khusus biasanya lebih mahal daripada siswa biasa.

Ia juga khwatir dampak kerusakan ekonomi akibat virus akan berakhir mengurangi tingkat sumber daya kepada anak-anak yang rentan ini beserta keluarga mereka.

Dia juga khawatir tentang bagaimana orang tua dari anak-anak dengan autisme akan beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh dan semua perubahan lain pada rutinitas yang diperlukan sampai vaksin COVID-19 ada.

Kini Nathan telah kembali ke pusat penitipan anak Brighton yang ia hadiri sebelum karantina. Seperti kebanyakan orang tua, lockdown menambah perjuangan Sarah.

"Kami di rumah sepanjang hari, setiap hari, dan kadang-kadang sulit untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dengannya. Saya ingin menjadikan setiap momen bermakna baginya. Sebelum penutupan, kami memiliki rutinitas yang sangat terstruktur. Saya tahu persis apa yang harus saya lakukan" katanya.

Namun tujuannya kini adalah menjaga Nathan tetap pada jalurnya. Sarah juga berterima kasih atas dukungan mental yang diberikan oleh staf Brighton selama karantina.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.