Kenaikan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7% menuai kontra dari pengamat ekonomi. Salah satunya, pengamat ekonomi Aviliani yang menilai kebijakan moneter dengan menaikkan kembali BI Rate sebesar 50 basis poin belum perlu dalam kondisi seperti sekarang ini.
"Jangan sampai krisis kecil ini diselesaikan dengan cara yang besar dan pada akhirnya mengorbankan pelaku ekonomi," ujar dia saat dijumpai di acara FDG PT SMI (Persero), Jakarta, Jumat (30/8/2013).
Kenaikan BI Rate, Aviliani menambahkan, dilakukan untuk meredam ekspektasi inflasi. Namun dibalik itu, suku bunga perbankan yang akan menjadi korbannya.
"Jika bank akan naikkan rate suku bunganya bisa berimbas kepada bank yang awalnya tidak bermasalah malah bisa jadi masalah," lanjut dia.
Menurut dia, saat ini kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis kecil tersebut adalah suplai dolar. Untuk menjaga suplai dolar tetap aman, ada tiga langkah yang dapat menjadi perhatian BI.
Pertama, tambah Aviliani, permasalahan utama adalah tingginya utang luar negeri dari pihak swasta. Dalam hal ini, pemerintah bisa berperan sebagai mediator untuk merestrukturisasi supaya kebutuhan dolar terkurangi.
"Langkah kedua, memperpanjang jatuh tempo letter of credit (LC), sebab pemerintah tidak bisa mengurangi impor karena akan sama saja dengan mengurangi pertumbuhan. Jadi pemerintah bisa menjamin perpanjangan waktu pembayaran LC dengan asetnya," jelas dia.
Di Indonesia, kata dia, sebanyak 70% importir mengandalkan LC dari kegiatan impornya. Sedangkan tahun 1998, impor dijamin oleh pemerintah melalui Bank Exim.
"Mungkin pemerintah bisa menunjuk salah satu bank yang bisa ditunjuk supaya dapat menjamin ekspor impornya," cetus Aviliani.
Sementara langkah ketiga, menyelesaikan masalah tanpa perlu merilis kebijakan moneter terlebih dahulu. Pasalnya beberapa negara yang terkena dampak dari ketidakpastian ekonomi dunia tidak ikut menaikkan suku bunga.
"Masa suku bunganya dinaikkan terus mengikuti inflasi. Padahal banyak negara lain yang tidak lebih baik dari Indonesia tapi tidak naikkan suku bunga," papar Aviliani. (Fik/Nur)
"Jangan sampai krisis kecil ini diselesaikan dengan cara yang besar dan pada akhirnya mengorbankan pelaku ekonomi," ujar dia saat dijumpai di acara FDG PT SMI (Persero), Jakarta, Jumat (30/8/2013).
Kenaikan BI Rate, Aviliani menambahkan, dilakukan untuk meredam ekspektasi inflasi. Namun dibalik itu, suku bunga perbankan yang akan menjadi korbannya.
"Jika bank akan naikkan rate suku bunganya bisa berimbas kepada bank yang awalnya tidak bermasalah malah bisa jadi masalah," lanjut dia.
Menurut dia, saat ini kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis kecil tersebut adalah suplai dolar. Untuk menjaga suplai dolar tetap aman, ada tiga langkah yang dapat menjadi perhatian BI.
Pertama, tambah Aviliani, permasalahan utama adalah tingginya utang luar negeri dari pihak swasta. Dalam hal ini, pemerintah bisa berperan sebagai mediator untuk merestrukturisasi supaya kebutuhan dolar terkurangi.
"Langkah kedua, memperpanjang jatuh tempo letter of credit (LC), sebab pemerintah tidak bisa mengurangi impor karena akan sama saja dengan mengurangi pertumbuhan. Jadi pemerintah bisa menjamin perpanjangan waktu pembayaran LC dengan asetnya," jelas dia.
Di Indonesia, kata dia, sebanyak 70% importir mengandalkan LC dari kegiatan impornya. Sedangkan tahun 1998, impor dijamin oleh pemerintah melalui Bank Exim.
"Mungkin pemerintah bisa menunjuk salah satu bank yang bisa ditunjuk supaya dapat menjamin ekspor impornya," cetus Aviliani.
Sementara langkah ketiga, menyelesaikan masalah tanpa perlu merilis kebijakan moneter terlebih dahulu. Pasalnya beberapa negara yang terkena dampak dari ketidakpastian ekonomi dunia tidak ikut menaikkan suku bunga.
"Masa suku bunganya dinaikkan terus mengikuti inflasi. Padahal banyak negara lain yang tidak lebih baik dari Indonesia tapi tidak naikkan suku bunga," papar Aviliani. (Fik/Nur)