Sukses

Kekayaan Miliarder Bernard Arnault Susut Rp 124,29 Triliun dalam 1 Hari

Sebelum rilis kinerja keuangan, kekayaan bersih CEO LVMH Bernard Arnault diperkirakan mencapai USD 190 miliar atau sekitar Rp 2.951 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Pendiri dan CEO perusahaan barang mewah LVMH, Bernard Arnault mencatat penurunan kekayaan hampir USD 10 miliar atau sekitar Rp 155,33 triliun (asumsi dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 15.533) dalam satu hari. Hal ini seiring penurunan tajam harga saham LVMH sebesar 7 persen setelah Perseroan membukukan penurunan penjualan yang tidak terduga pada kuartal III.

Mengutip Yahoo Finance, Kamis (17/10/2024), produsen barang mewah yang memiliki merek Moet & Chandon, Louis Vuitton, dan Tiffany&Co membukukan penurunan penjualan 3 persen pada kuartal III 2024 menjadi 19,1 miliar euro atau USD 21 miliar. Hal itu menekan saham LVMH.

Sebelum pengumuman kinerja keuangan, kekayaan bersih Arnault diperkirakan mencapai USD 190 miliar atau sekitar Rp 2.951 triliun. Akan tetapi, sejak saat itu ia telah kehilangan USD 8 miliar atau sekitar Rp 124,29 triliun dari kekayaan bersihnya.

Jauh berbeda pada awal 2024, saat Arnault menjadi orang terkaya di dunia. Pada Maret, kekayaan Arnault mencapai titik tertinggi sepanjang masa USD 231 miliar. Namun, kekayaan Arnault terus merosot sejak saat itu karena penjualan di LVMH menurun drastic.

Bulan lalu, posisi taipan Prancis situ anjlok menjadi orang terkaya kelima di dunia. Hal ini setelah harga saham LVMH merosot 20 persen yang akibatkan kekayaan bersihnya berkurang USD 54 miliar atau sekitar Rp 83,92 triliun.

Pada Mei 2024, miliarder ini juga alami kerugian USD 11,2 miliar saat saham LVMH turun 5 persen.

Kekayaan Arnault meski turun, tetapi pria berusia 75 tahun ini masih memiliki kekayaan USD 182 miliar atau sekitar Rp 2.827 triliun, menurut indeks Bloomberg Billionaires. Adapun LVMH tidak segera menanggapi permintaan komentar Fortune.

2 dari 4 halaman

Apa yang Terjadi di LVMH?

Selama paruh pertama 2024, LVMH melaporkan penurunan pendapatan cukup besar, tetapi divisi anggur dan minuman keras alami kinerja kurang baik.

“Mungkin situasi global saat ini, baik geopolitik maupun ekonomi makro, tidak membuat orang-orang bersemangat dan membuka botol sampanye,” ujar Chief Financial Officer LVMH, Jean-Jacques Guiony.

Kali ini raksasa barang mewah itu menyalahkan lemahnya belanja di kalangan konsumen China atas penurunan penjualan kuartal ketiga yang tidak terduga dan memperingatkan tentang lingkungan ekonomi dan geopolitik yang tidak pasti.

Dalam panggilan dengan investor, Guinoy menuturkan, masih belum jelas apakah langkah-langkah stimulus pemerintah China baru-baru ini akan cukup atau tidak mendorong belanja di kawasan itu, menurut MarketWatch.

Di sisi lain, penjualan di divisi utama fesyen dan barang dari kulit LVMH, yang dipandang sebagai penentu sektor mewah turun 5 persen menandai pertama kalinya divisi tersebut mencatat penurunan penjualan sejak 2020, selama pandemi COVID-19.

 

3 dari 4 halaman

Stimulus Ekonomi China Bikin Bos LVMH Bernard Arnault Tambah Kaya

Pemilik perusahaan barang mewah asal Prancis LVMH, Bernard Arnault berhasil mencetak keuntungan besar dalam bisnisnya di China, ketika negara itu mengumumkan langkah-langkah baru untuk memulihkan pertumbuhan ekonominya.

Mengutip CNN Business, ditulis Selasa (1/10/2024) kekayaan Bernard Arnault meningkat hingga USD 17 miliar atau Rp.257,6 triliun, setelah saham LVMH melonjak hampir 10% di Paris dengan harapan para pemimpin China akan berhasil dalam upaya mereka untuk menghidupkan kembali ekonomi, yang dapat mengembalikan permintaan barang-barang mewah.

Dilaporkan, saham LVMH berada di jalur yang tepat untuk mencatat kinerja mingguan terbaik mereka dalam 16 tahun, menyusul langkah-langkah stimulus ekonomi China.

Sebelumnya, kekayaan Arnault sempat merosot cukup besar dibandingkan miliarder lainnya, dengan kekayaannya menurun sebesar USD 24 miliar (Rp 363,7 triliun) karena kemerosotan di pasar barang-barang mewah, menurut Bloomberg Billionaires Index.

LVMH mengungkapkan pada Juli 2024, penjualan telah turun 10% dalam enam bulan pertama tahun ini di wilayah Asia dibandingkan 2023. Pasar tersebut, yang menyumbang 31% dari total pendapatan tahun lalu, didominasi oleh China. Sepertin diketahui, ekonomi China yang goyah telah merugikan banyak perusahaan besar global.

Negara ini bergulat dengan sejumlah tantangan, mulai dari belanja konsumen yang lesu dan kemerosotan properti yang terus-menerus hingga krisis utang yang meningkat di pemerintah daerah.

 

4 dari 4 halaman

Stimulus China

Selama berbulan-bulan, para ekonom telah meminta pejabat China untuk berbuat lebih banyak untuk meningkatkan prospek yang lesu bagi negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu, yang berisiko kehilangan tingkat pertumbuhan targetnya sendiri sebesar 5%.

"Beijing tampaknya akhirnya bertekad untuk meluncurkan stimulus bazoka secara berurutan," tulis analis di bank investasi Nomura dalam sebuah catatan studi.

"Pengakuan Beijing terhadap situasi ekonomi yang parah dan kurangnya keberhasilan dalam pendekatan sepotong-sepotong harus dihargai oleh pasar," bebernya.