Sukses

Pemerintahan Prabowo Bakal Pikul Beban Tambahan, Apa Itu?

Pemeritahan Prabowo-Gibran diminta melakukan evaluasi menyeluruh terkait seluruh pengaturan industri tembakau.

 

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah pakar kebijakan publik dan ahli hukum menilai langkah untuk mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada aturan terkait dengan industri tembakau dinilai cacat hukum karena FCTC tidak diakui dan diratifikasi oleh Indonesia.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI), Trubus Rahadiansyah, menyatakan dampak dari rancangan aturan yang mematok FCTC sebagai acuan perumusan aturannya akan menjadi beban tambahan bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran.

Padahal, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintahan baru, termasuk aturan melenceng jauh dari Undang-Undang (UU) Kesehatan yang telah disahkan.

“Banyak aturan yang bertentangan dengan UU Kesehatan-nya sendiri. Padahal, seharusnya tidak boleh keluar dan melebihi dari mandat UU Kesehatan, mestinya hanya bisa menerjemahkannya menjadi aturan teknis. Selain itu, aturan turunan tersebut tidak boleh menambah klausul dan norma baru, yang mana di UU Kesehatan-nya sendiri tidak ada aturan tersebut,” imbuhnya.

Dalam hal ini, Trubus mengatakan kebijakan yang ekstrim ini tidak tepat untuk dijalankan pada industri tembakau yang berkontribusi besar terhadap serapan tenaga kerja dan perekonomian Indonesia. Ia menyarakan agar pemerintahan baru untuk memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan tenaga kerja di Indonesia terutama di tengah terjadinya deflasi di lima bulan beruntun.

“Seharusnya, pemeritah melakukan evaluasi menyeluruh terkait seluruh pengaturan industri tembakau. Industri ini perlu didukung untuk menyerap tenaga kerja yang besar guna menekan angka deflasi. Ini yang semestinya menjadi perhatian pemerintah, khususnya pemerintahan baru,” tegasnya.

 

2 dari 3 halaman

Aturan Fiskal dan Nonfiskal

Saat ini, industri tembakau telah dibebani oleh lebih dari 480 aturan yang mencakup aturan fiskal dan nonfiskal. Banyak di antara aturan tersebut yang tidak memiliki pengawasan yang jelas atau implementasi yang mumpuni. Hal ini menyebakan industri tembakau legal semakin tertekan dan justru membuat peredaran rokok ilegal semakin meningkat.

Senada, Ahli Hukum Universitas Trisakti, Ali Ridho, menekankan ada alasan besar mengapa Indonesia tidak meratifikasi FCTC. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara produsen tembakau yang terbesar dan banyak rantai pasok industri domestik yang terdampak.

Mengutip teori dalam buku Nicotine War, Ali menyatakan regulasi yang restriktif terhadap industri tembakau merupakan salah satu intervensi lembaga anti tembakau asing guna untuk terus mendorong agenda ratifikasi FCTC di Indonesia.

 

3 dari 3 halaman

Rugikan Banyak Sektor

Sehingga, Ali menilai PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes dinilai inkonstitusional dan berpotensi merugikan banyak sektor yang terkait dengan industri tembakau di dalam negeri.

“Haram hukumnya FCTC menjadi rujukan. Aturan (PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes) yang dibuat jelas kontradiktif (terhadap UU Kesehatan) dan mengacu pada FCTC. Ini merupakan pembangkangan terhadap konstitusi,” terang Ali.

Maka dari itu, Ali menegaskan apabila PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes ini tidak dikaji ulang, maka akan berdampak signifikan ke banyak hal, termasuk pada target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% yang digagas oleh pemerintahan baru Prabowo-Gibran.

“Setiap Presiden punya kepentingan ketatanegaraannya sendiri-sendiri, sesuai dengan program prioritasnya. Jadi saya berharap pemerintahan baru dapat mengakomodir dan berpihak ke industri tembakau,” pungkasnya.