Sukses

Pasar Menanti Sinyal Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Rupiah Melemah Hari Ini 10 Juli 2024

Analis prediksi, rupiah akan bergerak di kisaran 16.225-16.325 per dolar AS pada perdagangan Rabu, 10 Juli 2024.

Liputan6.com, Jakarta - Pelaku pasar yang menanti sinyal pemangkasan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) mempengaruhi nilai tukar rupiah pada Rabu (10/7/2024).

Mengutip Antara, rupiah merosot 37 poin atau 0,23 persen menjadi 16.288 per dolar pada Rabu pagi, 10 Juli 2024 dari sebelumnya 16.251 per dolar AS. "Rupiah diperkirakan akan melemah terhadap dolar AS yang rebound setelah dalam pidatonya Powell tidak memberikan signal yang jelas akan pemangkasan suku bunga walau mengakui inflasi sudah menurun," ujar analis mata uang Lukman Leong kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.

Selain itu, investor masih waspada mengantisipasi data inflasi AS, Kamis, 1 Juli 2024 untuk melihat arah kebijakan suku bunga AS ke depan.Inflasi AS akan kembali turun dari 3,3 persen menjadi 3,1 persen, namun inflasi inti masih akan bertahan di 3,4 persen. Ia prediksi rupiah akan bergerak di kisaran 16.225 per dolar AS-16.325 per dolar AS.

Sebelumnya, rupiah ditutup naik 7 poin atau 0,04 persen menjadi 16.251 per dolar AS pada Selasa, 9 Juli 2024 dari sebelumnya 16.258.

"Pasar mengantisipasi data inflasi AS yang akan rilis Kamis waktu AS," ujar analis Bank Woori Saudara Rully Nova kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

Rully mengatakan, inflation rate tahunan AS diperkirakan lebih rendah dibanding sebelumnya perkiraan 3,1 persen dari 3,3 persen. Data inflasi AS akan menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam melihat kebijakan suku bunga the Fed.

Sementara itu, Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa turun ke level 16.281 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.265 per dolar AS.

2 dari 4 halaman

Bos BNI: Depresiasi Rupiah Lebih Besar Ketimbang Negara Lain Terseret Kebijakan The Fed

Sebelumnya, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) atau disebut BNI, Royke Tumilaar mengungkap dampak ekonomi global terhadap nilai tukar mata uang negara-negara berkembang. Bahkan, dampaknya terhadap nilai tukar rupiah tercatat lebih tinggi dibanding negara lain.

Royke menyadari, sektor keuangan dan perekonomian global sedang menghadapi tekanan. Termasuk adanya pengaruh dari kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa.

"ECB (European Central Bank) telah memotong suku bunga 25 basis poin pada Juni (2024), kemungkinan besar akan masih berlanjut sampai akhir tahun," ujar Royke dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (8/7/2024).

Sementara itu, The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS masih mempertahankan suku bunga AS di posisi 5,5 persen. Dia mengatakan, bank sentral AS ini hanya akan menurunkan suku bunga 25 basis poin sepanjang tahun ini.

"Kita tahu higher for longer dan memberi sinyal hanya akan menurunkan suku bunga 25 basis poin di tahun ini dibanding 75 basis poin yang diproyeksikan Maret 2024. Jadi, sedikit lebih lamban penurunannya Amerika Serikat," ujar dia.

Atas kebijakan AS dan Eropa ini, Royke menyadari adanya dampak terhadap pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS. Termasuk dampak terhadap rupiah yang sempat tembus Rp 16.450 per dolar AS.

"Implikasinya tentunya kepada Indonesia, negara-negara berkembang, rupiah pun tidak imun sehingga terdeprediasi sampai posisi 21 Juni, Rp 16.450 (per dolar AS)," ucapnya.

Dia mengantongi data pelemahan Rupiah ini terjadi lebih dalam dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara berkembang lainnya.

"Year to date hingga akhir Juni, rupiah telah melemah 6,4 persen dan lebih dalam daripada rata-rata negara berkembang lainnya 5,3 persen," bebernya.

 

3 dari 4 halaman

Aprindo Prediksi Rupiah Melemah Dongkrak Harga Barang di Ritel

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengatakan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dapat berimbas pada naiknya harga-harga bahan pokok di ritel dan menurunkan daya beli masyarakat. 

Ketua Aprindo, Roy N Mandey mengakui, pelemahan rupiah ini menyebabkan harga bahan baku dan bahan penolong impor yang diproduksi oleh supplier dan produsen di hulu naik. Sehingga, hal itu berdampak pada harga barang di hilir yang dijual di ritel modern.

"Ke ritel bagaimana dampaknya? Ke ritel dampaknya kepada bahan baku dan bahan penolong yang diproduksi oleh supplier, oleh produsen,” kata Roy dalam konferensi pers, di Kantor Aprindo, Jakarta, Jumat (28/6/2024).

Ia menuturkan, ketika produsen membeli bahan baku dan bahan penolong mereka menggunakan dolar AS untuk membayar. Maka secara hukum ekonomi mengatakan ketika bahan baku naik harga belinya, maka harga jualnya juga pasti naik.

"Mereka menjual ke kami, ke peritel. Peritel nggak menaikan harga, tapi karena mereka dari produsen, supplier, pemasok, produsen menaikkan harga karena bahan baku dan bahan penolongnya yang harus diimpor itu naik. Karena beli dolarnya lebih mahal daripada sebelumnya, otomatis akan terdampak ke hilir, lantaran eskalasi harga atau perubahan harga itu akan dilakukan oleh produsen, bukan oleh peritel," ujar dia.

Namun, kenaikan harga tersebut tidak terjadi pada semua produk yang dijual di ritel, karena tidak semua bahan baku dan bahan penolongnya berasal dari impor.

"itu terjadi tidak pada semua produk, karena tidak semua produk impor, tapi yang ada kandungan bahan baku dan penolongnya impor pasti akan berdampak kepada harga jual,” ujarnya.

4 dari 4 halaman

Bahan Baku Terdampak

Adapun bahan baku dan bahan penolong impor contohnya seperti kedelai. Lantaran Indonesia masih melakukan impor kedelai dari Amerika Latin. Kemudian, komoditas beras hingga gula.

"Apa saja barang-barang yang bahan baku dan penolongnya impor? Kedelai misalnya, jadi bahan baku kedelai itu nggak ada di Indonesia, harus dari Amerika Latin. Kedelai harus impor. Kemudian bahan pokok lagi, kita tahu beras juga kan impor, gula juga impor,” ujarnya.

Solusinya hanya satu yakni Pemerintah harus sanggup untuk memberikan subsidi untuk bahan baku dan bahan penolong impor tersebut. Tujuannya untuk menahan harga beberapa barang yang di jual di ritel tidak naik.

"Pemerintah mau naikin nggak subsidi-nya? Kalau subsidi-nya nggak naik, maka akan dampak kepada harga jualnya pasti mesti naik. Tapi kalau sudah tidak bisa ditolerir, mau tidak mau menaikkan harga, walaupun risikonya nanti kurang penjualannya,” ujarnya.

"Jadi ini sesuatu problem yang bukan baru sekarang tapi sudah terjadi beberapa kali Jadi disini pentingnya, pentingnya pemerintah harus bergerak cepat,” pungkas Roy.