Sukses

Program Makan Siang Pangkas Subsidi BBM, Apa Dampaknya?

Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menyoroti program makan siang yang diusung Calon Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Program tersebut diisukan akan mengurangi subsidi BBM untuk merealisasikannya.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P. Sasmita menyoroti program makan siang gratis yang diusung Calon Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Program tersebut diisukan akan mengurangi subsidi BBM untuk merealisasikannya.

Dia menilai, untuk merealisasikan program itu bisa juga bersumber dari pengalihan subsidi BBM. Namun, sebelumnya harus didukung oleh bukti faktual bahwa telah terjadi praktek subsidi energi yang tidak tepat sasaran. Misalnya, subsidi energi lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah ke atas ketimbang oleh masyarakat miskin.

"Namun membiayai kebijakan sosial dari dana pengalihan subsidi harus dilalukan secara hati-hati. Syaratnya, anggaran subsidi memang memakan dana yang besar melebihi 2 persen dari PDB nasional, sehingga sangat membebani anggaran nasional. Masalahnya untuk Indonesia, anggaran subsidi energi ternyata hanya sekira 0,9 persen saja dari PDB," kata Ronny, dalam keterangannya, Rabu (6/3/2024).

Kemudian, jika memang ingin meluruskan praktek subsidi energi, perlu dilakukan antisipasi dari kenaikan harga energi dengan kebijakan-kebijakan penguatan daya beli masyarakat di satu sisi (social protection policy) dan kebijakan penerapan subsidi energi secara tertarget yang dilakukan secara ketat dan matang.

"Karena sebagaimana diketahui bersama bahwa kebijakan subsidi energi seringkali diposisikan sebagai kebijakan "prize stabilisation" oleh banyak negara alias bukan sebagai kebijakan pemberian subsidi. Walhasil, penghapusan subsidi menjadi opsi kebijakan yang sulit karena berpotensi menciptakan multiplier effects ke berbagai sektor," jelasnya.

Artinya, mencabut energi subsidi harus dalam rangka meluruskan praktek subsidi bahwa penerima subsidi adalah kelompok masyarakat tertentu, yang memang secara kategoris layak menerima subsidi.

"Dengan kata lain, pendataan yang jelas dan tepat terkait penerima subsidi harus dilakukan terlebih dahulu. Setelah itu baru dirumuskan metode pendistribusiannya, apakah memakai sistem kartu atau teknologi kode barcode atau teknologi sejenisnya, di mana hanya masyarakat yang memegang kartu atau yang memiliki kode tertentu saja yang boleh membeli energi bersubsidi," ujarnya.

Di sisi lain, paket cash transfer untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan miskin juga harus disiapkan sebagai antisipasi kenaikan harga barang-barang akibat kenaikan harga BBM dan energi lainnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pengurangan Subsidi

Alternatif yang juga perlu dipertimbangkan adalah pengurangan subsidi secara gradual dengan nominal yang kecil. Misalnya pemerintah bisa menaikan harga BBM varian Pertalite dua kali dalam setahun, tapi kenaikannya hanya sekitar Rp. 500 per liter. Sehingga dalam setahun akan ada kenaikan harga BBM sebanyak dua kali, tapi nominalnya secara kumulatif hanya Rp. 1000.

"Dengan begitu, masyarakat tidak terlalu mengalami goncangan dan "shock theraphy" yang besar, karena efeknya ke harga-harga juga tak terlalu besar. Jika pemerintah bisa melakukannya secara baik, maka dalam dua tahun, subsidi BBM varian Pertalite akan terhapus sebesar Rp. 2000. Serta tak lupa, pengurangan subsidi harus dilakukan di saat angka inflasi rendah alias bukan sembarangan," ujar Ronny.

Namun kembali harus diingat bahwa jenis kebijakan sosial yang semestinya dibiayai dengan cara ini bukanlah berbentuk makan siang gratis.

"Kebijakan makan siang gratis yang sumbernya digeser-geser dari sumber pembiayaan sosial lainya tidak akan berdampak secara structural, tidak transformative, dan kurang sustainable (sekali kebijakannya berhenti, segala manfaatnya terhenti)," pungkasnya.

3 dari 4 halaman

Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran Disebut Kebijakan Robin Hood

Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, menilai dalam kacamata 'kebijakan publik', kebijakan makan siang gratis sifatnya sangat suplemental, bukan fundamental.

Menurutnya, program tersebut akan berkorelasi dengan kecukupan gizi anak-anak, sehingga mereka bisa belajar dengan fokus dan serius. Tapi tidak akan merubah struktur ekonomi politik nasional karena tidak akan mengurangi ketimpangan dan juga tidak akan mendorong terjadinya keadilan ekonomi.

"Jadi, akan jauh lebih baik jika pendapatan orang tua anak-anak penerima makan gratis tersebut naik dan membaik, sehingga mereka mendapatkan bekal gizi yang cukup langsung dari kantong orang tuanya," kata Ronny dalam keterangannya, Rabu (6/3/2024).Untuk membuat pendapatan para orang tersebut meningkat, diperlukan kebijakan yang transformatif di satu sisi dan belanja sosial (social spending) yang tidak sedikit di sisi lain.

Kebijakan Robin Hood

Secara kategoris, kebijakan makan siang gratis masuk ke dalam kategori kebijakan sosial. Sementara itu, kebijakan sosial dan belanja sosial sering diistilahkan oleh para ekonom dengan sebutan kebijakan "robin hood".

Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong terjadinya redistribusi ekonomi dari kalangan kelas atas untuk kalangan kelas bawah. Tujuannya tentu untuk mengurangi ketimpangan dan mendorong terjadinya distribusi ekonomi yang lebih merata.

Sebagaimana diketahui, memang salah satu fungsi dari APBN adalah sebagai instrumen redistribusi ekonomi. Karena itulah sering disebut dengan istilah kebijakan robin hood.

"Mengapa demikian? Karena sumber pembiayaannya diambil dari pengenaan pajak yang lebih tinggi untuk kelas atas," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Sumber Anggaran

Pertama, anggarannya bisa bersumber dari kenaikan pajak pendapatan orang kaya, pajak pendapatan perusahaan (corporate income tax), pajak barang mewah, pajak warisan dengan jumlah tertentu, dan lainnya. Kedua, bersumber dari pajak dosa (sin taxes), seperti kenaikan cukai rokok, pajak minuman keras, pajak hiburan malam, pajak kerusakan lingkungan, dan lainya.

"Jadi, dengan kenaikan pajak untuk semua jenis objek pajak ini akan mendorong terjadinya redistribusi ekonomi, karena memang dikenakan kepada kelas atas untuk membiayai program-program untuk kelas bawah," jelasnya.

Lalu ketiga, bisa juga bersumber dari pengalihan subsidi energi, yang sebelumnya harus didukung oleh bukti faktual bahwa telah terjadi praktek subsidi energi yang tidak tepat sasaran. Misalnya, subsidi energi lebih banyak dinikmati oleh kelas menengah ke atas ketimbang oleh masyarakat miskin.

Namun membiayai kebijakan sosial dari dana pengalihan subsidi harus dilalukan secara hati-hati. Syaratnya, anggaran subsidi memang memakan dana yang besar melebihi 2 persen dari PDB nasional, sehingga sangat membebani anggaran nasional. Masalahnya untuk Indonesia, anggaran subsidi energi ternyata hanya sekira 0,9 persen saja dari PDB

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.