Sukses

Impor Daging Sapi Dipangkas, Ini Saran DPR

Perizinan impor Kementerian Perdagangan (Kemendag) tetap mengacu kepada kementerian teknis yakni Kementerian Pertanian (Kementan). Hal ini terkait pemangkasan jatah impor daging lembu dari 400 ribu ton menjadi 145 ribu ton.

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo menyarankan untuk perizinan impor Kementerian Perdagangan (Kemendag) tetap mengacu kepada kementerian teknis yakni Kementerian Pertanian (Kementan).

Hal ini menanggapi pemangkasan jatah impor daging lembu dari 400 ribu ton menjadi 145 ribu ton.

"Kalau urusannya daging lembu, ya di bawah Kementan," kata Firman dikutip dari Antara, Senin (12/2/2024).

 

Ia menilai Kemendag selaku kementerian yang menerbitkan surat perintah impor (SPI), perlu mengacu kepada kementerian teknis. Dalam hal ini, Kementan. Jika SPI dikeluarkan Kemendag tidak sesuai data Kementan, bisa menjadi masalah di kemudian hari.

Ia menyatakan jika data yang digunakan salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka kebijakan yang diambil pun dipastikan salah. Sebelumnya mengacu kepada surat Kemenko Perekonomian bernomor TAN/13/M.EKON/01/2024 yang diteken Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, tertanggal 18 Januari 2024, menunjuk Bapanas sebagai verifikator volume rencana kebutuhan daging lembu untuk pelaku usaha.

Pengamat pangan Khudori menegaskan, Bapanas perlu menjelaskan alasan pemotongan angka impor daging lembu ini, agar tidak menjadi kegaduhan. Apalagi, angka Bapanas ini lebih rendah ketimbang impor 2023 sebanyak 165 ribu ton.

"Yang dikeluhkan pelaku usaha adalah kenapa volumenya lebih rendah ketimbang tahun lalu. Kenapa turun, tanyakan ke Bapanas apa pertimbangannya. Apa itu hasil verifikasi," ungkap Khudori.

Menjawab hal itu Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi menerangkan bahwa pengurangan kuota impor daging lembu masih dalam koridor proses bisnis yang dibangun.

Terkait penyusunan neraca komoditas. Di mana, neraca komoditas dievaluasi setiap tiga bulan. Jika di kemudian hari perlu penambahan, maka dilakukan penyesuaian kembali.

“Apa yang diisukan berupa pemangkasan volume kuota impor daging lembu itu tidak benar. Sebab, neraca komoditas by system yang dibahas secara bersama dengan Kemenko Perekonomian, Kemendag, Kementan, Kemenperin, dan stakeholder lain. Saya sampaikan bahwa Bapanas itu sebagai verifikator volume rencana kebutuhan impor daging lembu untuk konsumsi reguler,” kata Arief.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Indonesia Hadapi Krisis Pangan, Masih Bisa Selamat?

Ekonom FEB Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibosono, menilai dalam menghadapi krisis pangan, tidak ada cara lain kecuali meningkatkan produksi dalam negeri diikuti manajemen stok pangan yang lebih efisien.

Tercatat produksi beras tahun 2022 adalah 31,5 juta ton. Untuk swasembada pangan, produksi beras seharusnya minimal 35 juta ton per tahun.

Menurutnya, disisi lain ancaman terbesar disini adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani, peternak dan nelayan. Kebijakan pemerintah justru seringkali tidak berpihak, seperti membuka impor pangan di tengah panen raya, dan terkini perubahan iklim semakin membuat petani terpuruk.

"Dibutuhkan keberpihakan kebijakan yang kuat, mulai dari kebijakan tata niaga yang kondusif bagi sektor pertanian, dukungan investasi pada infrastruktur pertanian, peternakan dan perikanan, serta reforma agraria dan aset," kata Yusuf kepada Liputan6.com, dikutip Minggu (7/1/2024).Selain itu, kebijakan yang dibutuhkan adalah diversifikasi pangan dan menumbuhkan budaya pangan lokal yang kini semakin tergerus oleh trend pangan asing.

Pasokan Beras

Selanjutnya, isu yang tak kalah krusial dalam antisipasi kekurangan pasokan beras saat ini menurutnya adalah alih fungsi lahan sawah yang terus terjadi secara masif.

"Kita telah memiliki UU No. 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), namun hingga kini alih fungsi lahan sawah masih cenderung tidak terkendali, bahkan banyak disebabkan oleh proyek strategis nasional (PSN) seperti pembangunan jalan tol Trans Jawa," jelasnya.

Luas lahan baku sawah pada 2019 adalah 7,46 juta hektar. Namun, ia menduga kuat angka ini tersebut tidak valid saat ini. Hal ini menjelaskan mengapa produksi beras dalam negeri cenderung terus melemah dalam 5 tahun terakhir, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022.

 

3 dari 3 halaman

Sentra Beras

Di 8 provinsi sentra beras yaitu Sumbar, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali dan NTB, luas lahan baku sawah (LBS) 2019 adalah 3,97 juta hektar. Namun pada 2021, hanya 3,84 juta hektar sawah saja di 8 provinsi tersebut yang dapat ditetapkan menjadi lahan sawah yang dilindungi (LSD).

"Dengan kata lain, 136 ribu hektar sawah di 8 provinsi sentra beras tersebut diduga kuat telah mengalami konversi di sepanjang 2019-2021," katanya.

Melindungi lahan sawah yang tersisa, terutama di Jawa, adalah kebijakan yang tidak bisa ditawar untuk ketahanan pangan di masa depan. Kebijakan membuka lahan sawah baru di luar Jawa, termasuk food estate, adalah kebijakan yang salah arah, mahal dan beresiko sangat tinggi untuk ketahanan pangan kita.

"Mempertahankan sawah dan mendorong usaha pertanian berbasis keluarga (family farming) di Jawa adalah krusial untuk memastikan ketahanan pangan kita di masa depan, bukan dengan food estate yang mahal dan beresiko tinggi gagal," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.