Sukses

Menunggu Data Ekonomi AS, Rupiah Hari Ini Melemah ke 15.715 per Dolar AS

Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto menjelaskan, pada awal perdagangan Kamis rupiah melemah di tengah pasar menantikan rilis data produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal IV-2023 .

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak turun tipis pada Kamis pekan ini. Pelemahan rupiah ini terjadi di tengah penantian investor akan data-data ekonomi AS terutama pertumbuhan ekonomi AS.

Pada Kamis (25/1/2024), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta dibuka turun dua poin atau 0,01 persen menjadi 15.715 per dolar AS dari posisi penutupan perdagangan sebelumnya sebesar 15.713 per dolar AS.

Ekonom Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto menjelaskan, pada awal perdagangan Kamis rupiah melemah di tengah pasar menantikan rilis data produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal IV-2023 .

 

"Pasar menunggu data-data ekonomi AS, antara lain data PDB AS," kata Rully dikutip dari Antara.

PDB AS kuartal IV-2023 diproyeksikan tumbuh sekitar 1,8 persen secara kuartalan, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal III-2023.

Data PDB AS akan menjadi salah satu pertimbangan bank sentral AS atau The Fed dalam menentukan arah kebijakan suku bunga acuannya atau Fed Funds Rate (FFR) ke depan.

Rully memperkirakan rupiah akan bergerak di kisaran 15.685 per dolar AS sampai dengan 15.725 per dolar AS.

"Hari ini sepertinya masih minim sentimen, sepertinya belum ada pergerakan signifikan," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

CEO JPMorgan Ingatkan Faktor-faktor Pemicu Badai pada Ekonomi AS

Sebelumnya, CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon mengatakan dia tetap berhati-hati terhadap kinerja perekonomian Amerika Serikat selama dua tahun ke depan, karena kombinasi risiko finansial dan geopolitik.

"Anda mempunyai semua kekuatan yang sangat kuat yang akan mempengaruhi kita pada tahun 2024 dan 2025," ujar Dimon, dikutip dari CNBC International, Kamis (18/1/2024).

"Ukraina, (konflik) di Israel dan Laut Merah, pengetatan kuantitatif, yang saya masih mempertanyakan apakah kita benar-benar memahami cara kerjanya," kata Dimon dalam dalam wawancara dengan CNBC di sela-sela Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.

Sebagai informasi, pengetatan kuantitatif mengacu pada langkah Federal Reserve untuk mengurangi neraca keuangannya dan mengendalikan upaya sebelumnya termasuk program pembelian obligasi.

Dimon telah menganjurkan kehati-hatian selama beberapa tahun terakhir, meskipun rekor keuntungan di JPMorgan, bank terbesar di AS, dan perekonomian negara itu tidak sesuai ekspektasi.

 

3 dari 3 halaman

Jadi Obat Kecil

Terlepas dari dampak inflasi yang korosif, sebagian besar konsumen Amerika tetap sehat karena tingkat lapangan kerja yang baik dan tabungan di era pandemi.

Dalam pandangan Dimon, pasar saham yang relatif baik dalam beberapa bulan terakhir telah membuat investor terbuai dengan potensi risiko di masa depan. S&P 500indeks pasar naik 19 persen tahun lalu dan tidak jauh dari level puncak.

"Saat pasar saham sedang naik, ini seperti obat kecil yang kita semua rasakan sangat hebat. Tapi ingat, kita sudah mendapat begitu banyak dorongan fiskal dan moneter, jadi saya sedikit lebih berhati-hati," bebernya.

Selain itu, Dimon juga mengingatkan risiko "badai" pada ekonomi AS di masa depan karena pengetatan kuantitatif dan konflik Rusia-Ukraina. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.