Sukses

Jangan Hanya Simpan Uang di Bank, Orang Kaya RI Diminta Berinvestasi SBN

Para orang tajir di Indonesia diminta untuk berinvestasi di Surat Berharga Negara (SBN).

Liputan6.com, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengajak para orang tajir di Indonesia untuk berinvestasi di Surat Berharga Negara (SBN).

Sebab, berinvestasi di SBN tidak hanya menarik dari sisi ekonomi namun juga membawa manfaat sosial secara luas ketimbang hanya memarkir uangnya di bank.

"Kelompok yang punya uang tadi tidak hanya sekedar uang disimpan di bank, tapi bisa misalnya diputar dengan dibelikan obligasi pemerintah ada, SBN, Sukuk, dan lainnya dengan nominal retail yang rendah," tuturnya dalam acara Dialog Produktif bertajuk Jaga Kebugaran Keuangan di Masa Pandemi, Rabu (30/6).

Dia menambahkan, dengan melakukan investasi di SBN dan lainnya, secara langsung para orang kaya di Indonesia turut berkontribusi dalam kegiatan sosial. Mengingat, adanya peran nyata untuk membantu pemerintah dalam penanganan masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.

"Karena uang (investasi) dipakai untuk bansos, insentif, dan sebagainya," sebutnya.

Oleh karena itu, dia menyebut, berinvestasi di SBN merupakan pilihan tepat yang bisa dilakukan oleh orang kaya saat ini. Menyusul adanya manfaat nyata baik dari sisi ekonomi maupun sosial ketimbang menimbun uangnya di bank.

"Ini saya kira solusi win-win. Kita bisa menjaga cash flow dengan baik tapi juga menguntungkan negara sekaligus sesama kita," tutupnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bank Indonesia Beli SBN Rp 115 Triliun per 8 Juni 2021

Bank Indonesia (BI) tercatat melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 115,87 triliun per 8 Juni 2021.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pembelian SBN di pasar perdana untuk APBN 2021 ini dilakukan melalui lelang utama dan lelang tambahan (GSO).

"Terdiri dari Rp 40,41 triliun melalui lelang utama dan Rp 75,46 triliun melalui lelang tambahan. Untuk APBN 2020, jumlahnya Rp 473,42 triliun," jelas Perry dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (14/6/2021).

Perry melanjutkan, BI juga telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sebesar Rp 93,42 triliun per 8 Juni 2021. Sejak tahun 2020, total injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan telah mencapai Rp 819,99 triliun atau sebesar 5,3 persen PDB.

"Dari sisi moneter likuiditas sangat longgar, karena memang terus quantitative easing, penambahan likuiditas," ujar Perry.

Likuiditas perbankan yang longgar, lanjutnya, tercermin pada Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tinggi yaitu 33,67 persen dan pertumbuhan DPK sebesar 10,94 persen yoy.

"Likuiditas perekonomian meningkat, tercermin pada uang beredar dalam arti sempit (M1) dan arti luas (M2) yang tumbuh masing-masing 17,4 persen dan 11,5 persen pada April 2021 secara yoy," jelas orang nomor satu di Bank Indonesia tersebut.

3 dari 3 halaman

BI: Transaksi Digital di Perbankan Meroket 60 Persen Selama Pandemi

Adanya pandemi COVID-19 orang cenderung membatasi mobilisasi serta aktivitas di luar rumah, salah satunya adalah dalam transaksi jual beli. Hal ini berdampak pada meroketnya angka transaksi digital.

“Semenjak pandemi nilai transaksi uang elektronik meningkat hingga 30,17 persen, transaksi perbankan digital banking meningkat volumenya bahkan sampai 60 persen. Jadi ini menunjukkan bahwa di tengah-tengah semuanya menurun, terdapat tendensi kenaikan pembayaran digital” kata Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Junanto Herdiawan, dalam rangkaian acara Jakarta Marketing Week 2021 pada sesi Public Confidence for Digital Banking, Jumat (11/6/2021) .

Iwan mengatakan meski ekosistem layanan perbankan digital mulai bertumbuh, masih terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah sebagai regulator. 

Dia menilai regulasi yang sifatnya digitally native sangat diperlukan tambal sulam dari regulasi yang sudah ada menimbang pesatnya perkembangan teknologi.

Tujuan dari regulasi ini sendiri adalah supaya pemerintah mampu menghadapi dan mendeteksi resiko. Sehingga stabilitas sistem finansial di Indonesia dapat terwujud.

“Pandemi ini membuat kita harus membatasi fisik, ekonomi tertekan, dan ada penurunan sektor riil tetapi kita punya sebuah peluang selain tentunya pemulihan ekonomi ini, kalau vaksinasinya bisa berjalan terus, digitalisasi pembayaran bisa ditingkatkan, transaksi ekonomi digital meningkat, kita tingkatkan terus scalability, capability, dan bankability, sehingga daya saing dan pertumbuhan bisa tumbuh,” jelasnya. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.