Sukses

Jelang MEA 2015, Industri Kertas RI Hadapi 2 Hambatan

Indonesia adalah produsen pulp dan kertas nomor satu di Asean, sedangkan Vietnam dan Thailand terus mengejar.

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, sektor industri berbasis agro khususnya pulp dan kertas masih mengalami hambatan seperti isu dumping dan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

“Menghadapi MEA 2015, Indonesia memiliki keunggulan komparatif karena lokasinya sangat cocok untuk budidaya tanaman bahan baku seperti akasia. Akasia bisa dipanen dalam kurun waktu 6 tahun hingga 7 tahun, sedangkan waktu panen tanaman bahan baku kertas ini di negeri empat musim sekita 30 tahun hingga 40 tahun,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Brastasida dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/12/2014).

Liana menilai, Indonesia adalah produsen pulp dan kertas nomor satu di Asean, sedangkan Vietnam dan Thailand terus mengejar.

“Industri pulp dan kertas dalam negeri menghadapi tantangan, seperti isu dumping dan safeguard. Kasus dumping atau harga jual yang lebih murah di luar negeri dengan Malaysia terkait produk kertas koran dalam bentuk gulungan dan kasus tersebut sedang diselidiki Pemerintah Malaysia,” katanya.

Selain isu dumping, lanjut Liana, produsen bubur kertas dan kertas menolak melaksanakan sistem verifikasi legalitas kayu untuk produk kertas karena Kawasan Eropa bukan tujuan ekspor produsen tersebut. Sejauh ini sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) belum diakui semua negara tujuan ekspor di Eropa.

“Kawasan Eropa sendiri bukan pasar tujuan ekspor utama dari pulp dan kertas buatan Indonesia. Kalau kami ekspor barang yang diminta konsumen di luar negeri bukan SVLK,” jelas dia.

APKI menaungi 61 anggota dari total 82 pro dusen pulp dan kertas yang ada di Indonesia. Di antara anggota asosiasi baru 17 yang memiliki sertifikasi SVLK. APKI meminta pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 Tahun 2012 bahwa SVLK hanya diwajibkan untuk produk bubur kertas (pulp) saja, sedangkan produk kertas tidak perlu disertifikasi karena bubur kertas yang digunakan sudah bersertifikat legal.

Selain itu asosiasi juga menginginkan agar pemerintah mengupayakan agar SVLK dapat diterima atau diakui di pasar regional mau pun internasional. APKI juga mengusulkan agar masa berlaku sertifikasi bisa lebih dari tiga tahun.

“Pemerintah Indonesia juga perlu mendorong agar negosiasi bilateral dipercepat agar ada pengakuan SVLK di negara lain,” tandasnya. (Dny/Gdn)