Polemik RUU Kesehatan dan Hak Pekerja, Ini Kata Praktisi Kebijakan Publik

Dinna juga salah satu peneliti yang turut mengawal proses lahirnya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU BPJS, dan regulasi turunannya mengungkapkan bahwa JKN merupakan bagian dari transformasi kesehatan nasional.

oleh stella maris diperbarui 30 Apr 2023, 16:32 WIB
Hingga kini karangan bunga itu terus berdatangan ke halaman luar gedung DPR, Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengklaim bahwa 100 ribu buruh bakal ikut serta dalam aksi unjuk rasa di Istana Kepresidenan dan gedung Mahkamah Konstitusi pada peringatan May Day atau Hari Buruh pada 1 Mei 2023. Salah satu tuntutan yang akan disuarakan mengenai RUU Kesehatan yang disebut-sebut memicu polemik dan tidak berpihak pada pekerja.

Said Iqbal mengatakan bahwa pihaknya menolak rencana pengelolaan dana BPJS Kesehatan diambil alih Kementerian Kesehatan melalui RUU Kesehatan tersebut. Itu karena dana tersebut bukan murni berasal dari APBN, melainkan juga terdiri atas dana yang berasal dari iuran pekerja hingga pengusaha.

"BPJS Kesehatan harus di bawah langsung presiden. Ketika ada keadaan darurat dan dana BPJS berkurang, itu presiden bisa keluarkan APBN atau sumber lain. Kalau menteri kan tidak bisa. Makanya kita usulkan BPJS di bawah presiden, karena dana BPJS ada tiga sumber. Ada Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui APBN, iuran buruh, dan iuran mandiri. Masa mau diambil pemerintah di bawah Menteri Kesehatan," katanya beberapa waktu lalu.

Mengenai hal tersebut, Direktur Eksekutif Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja mengungkapkan bahwa RUU Kesehatan memang berdampak fundamental terhadap sistem kesehatan di Indonesia, apalagi RUU tersebut mencabut 9 undang-undang terkait kesehatan dan mengubah 4 undang-undang yang menjamin hak warga negara mendapatkan jaminan kesehatan, termasuk di dalamnya hak pekerja.

 

Direktur Eksekutif Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja/Istimewa.

"Kementerian Kesehatan sebagai regulator hendaknya fokus menjamin penyelesaian masalah struktural, seperti kecukupan ketersediaan tempat tidur, dokter, dokter spesialis, perawat, dan sejenisnya di seluruh Indonesia. JKN yang diselenggarakan secara independen adalah mandat konstitusi yang tidak bisa dicabut UU Omnibus. Keliru kalau menyalahkan JKN karena ada pekerjaan rumah yang belum dilakukan regulator," kata Dinna, Minggu (30/4).

Dinna juga salah satu peneliti yang turut mengawal proses lahirnya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU BPJS, dan regulasi turunannya mengungkapkan bahwa JKN merupakan bagian dari transformasi kesehatan nasional. JKN menyediakan perlindungan sosial bagi seluruh warga negara di bidang kesehatan, terlebih 114,7 juta penduduk Indonesia berstatus ‘menuju kelas menengah’ dan 61 juta penduduk berstatus 'rentan'.

Menurutnya, tanpa JKN, kemampuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan layanan kesehatan akan tergerus. Sistem akan kembali ke sistem awal sebelum ada JKN. Perbaikan kemampuan rumah sakit dan dokter dalam merespon JKN justru seharusnya dijadikan prioritas dalam transformasi kesehatan nasional. 

"Kami tidak melihat adanya overlapping struktur kewenangan antara Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Upaya mengubah kondisi ini melalui RUU Kesehatan, justru mengganggu transformasi layanan sistem kesehatan yang sudah berjalan sejak tahun 2014," ujar Dinna.

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya