Tragedi Kanjuruhan, Polri: Kabag Ops Polres Malang Harusnya Larang Personel Bawa Gas Air Mata

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo harusnya dapat mengontrol keamanan Stadion Kanjuruhan dengan menanggalkan penggunaan gas air mata.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 10 Okt 2022, 16:36 WIB
Polisi dan tentara berdiri di tengah asap gas air mata saat kerusuhan pada pertandingan sepak bola antara Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Ratusan orang dilaporkan meninggal dunia dalam tragedi kerusuhan tersebut. (AP Photo/Yudha Prabowo)

Liputan6.com, Jakarta Polri menetapkan tiga polisi sebagai tersangka kasus tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Ketiganya yakni Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kepala Satuan Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, dan Komandan Kompi (Danki) Brimob Polda Jawa Timur, AKB Hasdarman.

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo harusnya dapat mengontrol keamanan Stadion Kanjuruhan dengan menanggalkan penggunaan gas air mata.

"Kenapa itu tidak dilarang (membawa gas air mata). Andaikata itu dilarang tentunya tidak akan terjadi seperti itu," tutur Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).

Menurut dia, Wahyu sebagai pihak yang mengetahui regulasi FIFA, sepatutnya mengerti pentingnya mengikuti aturan keselamatan dan pengamanan di Stadion Kanjuruhan.

"Setiap aparat keamanan dilarang membawa gas air mata. Bukan hanya gas air mata. Membawa tameng, membawa tongkat, memakai helm, dan masker. Masker yang dapat memprovokasi massa saja itu dilarang," jelas dia.

Atas dasar itu, lanjut Dedi, Wahyu bersama dua anggota lainnya sangat bertanggung jawab dalam penembakan gas air mata. Terlebih, penggunaannya pun mesti bertahap, mulai dari selongsong berwarna putih, biru, kemudian merah.

"Dilakukan penembakan dulu ya adalah dengan menggunakan smoke ini. Ini diluncurkan hanya efeknya itu hanya suara, asap putih. Ketika massa maju untuk mengurai masa menggunakan yang biru, biru ini kan klaster ini berarti kan massa ya dalam jumlah yang belum terlalu banyak. Tetapi kalau misalnya masa yang jumlahnya cukup banyak serta ada indikasi anarkis baru menggunakan yang merah. Yang merah ini lebih masif impactnya," Dedi menandaskan.

 

2 dari 4 halaman

Bukan Penyebab Kematian

Polisi menembakkan gas air mata saat kerusuhan pada pertandingan sepak bola antara Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Menurut Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta, hingga saat ini terdapat kurang lebih 180 orang yang masih menjalani perawatan di sejumlah rumah sakit tersebut. (AP Photo/Yudha Prabowo)

Polri menyatakan bahwa penyebab dari kematian ratusan orang dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur bukan dikarenakan kandungan dalam gas air mata yang dilepaskan petugas saat pengendalian massa.

Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan bahwa berdasarkan keterangan dokter RS Saiful Anwar bahwa tidak ada yang menyebut gas air mata menjadi penyebab kematian dalam tragedi Stadion Kanjuruhan.

"Dari penjelasan para ahli, spesialis yang menangani korban yang meninggal dunia maupun korban-korban yang luka, dari dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit hati dan juga spesialis penyakit mata menyebutkan tidak satupun yang menyebutkan penyebab kematian adalah gas air mata," tutur Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).

Menurut Dedi, penjelasan tersebut didapatnya dari Direktur RS Saiful Anwar saat kunjungannya langsung ke rumah sakit pada Senin, 3 Oktober 2022. Dia datang bersama dengan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta, serta beberapa pejabat lainnya.

"Tapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen. Terjadi berdesak-desakkan, kemudian terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan yang mengakibatkan kekurangan oksigen pada Pintu 13, 11, 14, 3," jelas Dedi.

Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan hasil investigasinya, terkait tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Hasilnya, terdapat temuan awal bahwa benar telah terjadi tindak kekerasan yang diduga dilakukan secara sistematis dan tidak hanya melibatkan pelaku di lapangan.

"Bahwa pada saat pertengahan babak kedua, terdapat mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata, padahal diketahui tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan saat itu," kata Kepala Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy, saat dikonfirmasi Liputan6.com melalui pesan singkat, Senin (10/10/2022).

3 dari 4 halaman

Gas Air Mata Kedaluarsa

Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendapatkan informasi soal gas air mata yang ditembakkan saat tragedi stadion Kanjuruhan, Malang sudah kadaluarsa.

Hal ini sebagaimana disampaikan Komisoner Komnas HAM, Choirul Anam kepada wartawan pada Senin, (10/10/2022).

"Iya jadi soal yang apa (gas) kadaluarsa itu informasinya memang kita dapatkan. Tapi memang perlu pendalaman," kata Anam, Senin (10/10/2022).

"Yang penting sebenarnya kalau perkembangan sampai hari ini, sepanjang informasi yang kami dapatkan, Senin hari ini tanggal 10 itu yang harus dilihat dinamika di lapangan," sambungnya.

Ia menegaskan, yang menjadi pemicu utama atas tragedi Kanjuruhan tersebut yakni gas air mata. Karena, dengan adanya gas air mata itu membuat para suporter menjadi panik.

"Dinamika di lapangan itu pemicu utama memang gas air mata yang menimbulkan kepanikan, sehingga banyak suporter atau Aremania yang turun berebut untuk masuk ke pintu keluar dan berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak, susah nafas dan lain sebagainya," tegasnya.

"Sedangkan pintunya juga yang terbuka juga pintu kecil. Sehingga berhimpit-himpitan, kaya begitulah yang sepanjang hari ini yang mengakibatkan kematian. Jadi eskalasi yang harusnya sudah terkendali ya, kalau kita lihat dengan cermat itu kan terkendali sebenarnya terkendali tetapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Lah gas air mata ini lah yang penyebab utama adanya kematian bagi sejumlah korban," tutupnya.

4 dari 4 halaman

Kata Polisi

Aparat keamanan melepas tembakan gas air mata untuk menghalau massa dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu, 1 Oktober 2022 (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Polri membenarkan adanya penggunaan gas air mata yang kedaluwarsa dalam tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.

Namun begitu, justru kondisi tersebut membuat efeknya berkurang, bukan malah mematikan.

"Ada beberapa yang diketemukan. Yang tahun 2021 ada beberapa, saya masih belum tahu jumlahnya. Tapi itu yang masih didalami, tapi ada beberapa," tutur Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (10/10/2022).

Menurut Dedi, berdasarkan keterangan dokter disebutkan bahwa tidak ada kandungan zat kimia berbahaya yang dapat mematikan seseorang dalam gas air mata, baik itu dalam kondisi baik ataupun kedaluwarsa.

"Kembali lagi saya mengutip apa yang disampaikan oleh dokter Masayu Evita. Di dalam gas air mata memang ada kedaluwarsa atau expired-nya. Sedangkan harus mampu membedakan ini kimia, beda dengan makanan. Kalau makan ketika dia kedaluwarsa, maka di situ ada jamur, ada bakteri, yang bisa mengganggu kesehatan," jelas dia.

"Kebalikannya dengan zat kimia, atau gas air mata ini, ketika dia expired, justru kadar kimianya itu berkurang. Sama dengan efektifitasnya gas air mata ini. Ketika ditembakkan, dia tidak bisa lebih efektif lagi," sambungnya.

Ketika gas air mata kedaluwarsa ditembakkan, lanjut Dedi, maka partikel CS yang seperti serbuk bedak akan keluar, namun efektivitasnya semakin berkurang.

"Ditembakkan, jadi ledakan di atas, ketika tidak diledakkan di atas maka akan timbul partikel-partikel yang lebih kecil lagi daripada yang dihirup, kena mata mengakibatkan perih. Ya jadi kalau misalnya sudah expired, justru kadarnya dia berkurang secara kimia, kemudian kemampuannya gas air mata ini akan menurun. Gitu," Dedi menandaskan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya