Kisah Kiai Desa Lindungi Eks-Anggota PKI Usai Tragedi G30S

G30S PKI juga menjadi puncak konfrontasi umat Islam dan partai komunis. Maklum, sebelumnya anggota PKI kerap melecehkan umat Islam. Mereka tak segan melecehkan simbol-simbol agama

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Sep 2022, 06:30 WIB
Penangkapan Amir Syarifudin dan tokoh PKI lainnya usai pemberontakan Madiun 1948. (Sumber Foto: Kemdikbud.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Tragedi G30S PKI kembali mengoyak kedamaian semu negeri. Ini adalah titik balik sekaligus titik nadir usai perkembangan PKI yang spektakuler.

Usai peristiwa itu, anggota dan simpatisan PKI diburu di seluruh penjuru. Bagi anggota PKI, G30S PKI adalah kiamat. Mereka diburu, ditahan, dan bahkan dibunuh tanpa pengadilan.

Geger 1 Oktober itu juga menjadi puncak konfrontasi umat Islam dan partai komunis. Maklum, sebelumnya anggota PKI kerap melecehkan umat Islam. Mereka tak segan melecehkan simbol-simbol agama.

Gejolak balas dendam juga terjadi di pedalaman Cilacap, Jawa Tengah. Salah satunya di Desa Pesahangan, Kecamatan Cimanggu.

Banyak santri dan barisan NU yang hendak menggempur anggota PKI. Kepercayaan diri meningkat berlipat-lipat karena kini mereka didukung tentara.

Namun, ulama kharismatik setempat, Kiai Sayuti mencegah. Ia tak mau santrinya terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan anggota PKI.

Bahkan, banyak orang-orang yang sebelumnya condong ke PKI atau anggota keluarganya berlindung di perkampungan atau sekitar pesantren yang diasuh Mbah Sayuti.

“Waktu itu kan tiba-tiba ada yang dijemput (tentara). Dua orang atau tiga orang, terus hilang nggak pulang. Mereka takut, jadinya tinggalnya ya di dekat-dekat situ,” kata Haji Kamil, salah satu cucu Kiai Sayuti.

Mereka pun selamat. Bahkan beberapa di antaranya hingga kini masih hidup. Mereka menjadi saksi perlindungan yang diberikan Kiai Sayuti terhadap simpatisan PKI, yang belum tentu tahu apa itu PKI.

 

2 dari 3 halaman

Mbah Sayuti Sudah Tahu PKI akan Dimusnahkan

Kamil bercerita, dendam santri kepada PKI sudah tak terperi. Pasalnya, mereka kerap mengintimidasi dan tak segan melecehkan masjid.

Saat situasi berbalik, tentu saja mereka hendak balas dendam. Manusiawi.

“Waktu itu, Mbah Sayuti bilang jangan, besok orang itu (yang berak di masjid) juga mati,” ucap Kamil, yang saat itu masih remaja tanggung.

Sebagaimana santri, mereka takzim, meski tak begitu saja percaya dengan ucapan Mbah Sayuti. Santri dan barisan muda NU pun tak jadi menggempur. Mereka lebih banyak berjaga-jaga di lingkungan pesantren dan kampung yang didiami umat muslim.

Akal santri belum bisa mencerna ucapan Mbah Sayuti yang diyakini melampaui zamannya. Keistimewaannya adalah mampu memprediksi masa depan, yang dalam istilah Jawa bisa jadi yang disebut sebagai ‘Weruh Sakdurunge Winarah’ atau, bisa melihat sebelum kejadian itu berlaku.

Prediksi Mbah Sayuti ternyata terbukti. Terjadilah geger 1 Oktober 1965 di Jakarta. Usai itu, PKI disalahkan dan jadi buruan. Pembantian terjadi di mana-mana, termasuk di Cilacap.

“Orang yang nantang-nantang itu ditangkap tentara, kemudian tidak pulang sampai sekarang (dibunuh),” Kamil mengungkapkan.

 

3 dari 3 halaman

Cegah Permusuhan 7 Turunan

 

Kini, Kamil sadar apa yang dilakukan Mbah Sayuti adalah upaya untuk mencegah pertumpahan darah sesama saudara, dan sesama umat manusia. Sebab, saat itu, tak menutup kemungkinan dalam satu percabangan keluarga memiliki kecenderungan politik berbeda.

Dia tak bisa membayangkan seandainya saat itu Mbah Sayuti membiarkan santri beserta Ansor dan Banser menggempur atau menyerang perkampungan PKI. Mungkin saja, dendam akan tercipta hingga tujuh turunan.

Padahal, bisa jadi para anggota atau simpatisan PKI itu hanya terhasut lantaran kampanye propaganda PKI. Mereka tak tahu menahu urusan politik. Bahkan, sebagian di antaranya buta huruf.

“Di gunung kan tidak ada yang mendendam. Sebab yang menangkap atau membunuh itu bukan santri. Tapi tentara. Makanya sampai sekarang tetap damai,” ujarnya.

Pengasuh Pondok Pesantren Baabussalam , Ciawitali, Cimanggu, KH Amin Mustholih membenarkan salah satu pusat pelatihan Hisbullah dan Sabilillah ada di pegunungan Pesahangan. Salah satunya berada di kediaman KH Sayuti.

“Ya kalau pesantren tidak usah dijaga. Karena di situ kan sudah banyak santri yang otomatis menjaga kiainya,” kata Mbah Amin.

Tim Rembulan

Petugas mengecek diorama di Museum Jenderal Besar DR AH Nasution, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang korban dari peristiwa G30S/PKI yang juga merenggut nyawa putri Jenderal Besar Nasution, Ade Irma Suryani Nasution. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya