Tarik Pajak Karbon, Negara Potensi Terima Rp 6,5 Triliun dari Pembangkit Listrik

Negara bisa meraup pendapatan hingga Rp 6,5 triliun dengan adanya kebijakan tarif pajak karbon sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 08 Okt 2021, 17:00 WIB
Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memproyeksikan, negara bisa meraup pendapatan hingga Rp 6,5 triliun dengan adanya kebijakan tarif pajak karbon sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Besaran penerimaan negara itu disebutnya bisa tercapai hanya untuk penerapan di pembangkit listrik saja, yang secara jadwal akan dilakukan mulai 1 April 2022 mendatang.

"Dengan tarif Rp 30 per CO2e, untuk pembangkit listrik potensi penerimaannya sebesar Rp 6,5 triliun," ujar Fajry kepada Liputan6.com, Jumat (8/10/2021).

Namun, Fajry menambahkan, penerimaan negara seharusnya bisa lebih besar, andai saja usulan tarif pajak karbon Rp 75 per CO2e sesuai Surpres RUU KUP jadi diterapkan.

"Jika dengan skema usulan awal, untuk pembangkit listrik saja Rp 16,35 triliun," sebutnya.

Kendati begitu, ia mengapresiasi pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP yang di dalamnya turut memuat pengenaan pajak karbon. Sebagai negara yang paling rentan terkena perubahan iklim, Fajry menilai, sudah seharusnya Indonesia berpartisipasi dalam program green economy.

"Pengenaan pajak karbon merupakan opsi yang paling menarik bagi pemerintah untuk mengurangi emisi karbon. Pengenaan pajak karbon tak hanya mampu mengurangi emisi karbon tapi juga meningkatkan penerimaan negara," ungkapnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 2 halaman

Perubahan Iklim

Gedung bertingkat yang terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta, Selasa (9/7/2019). Berdasarkan data DLH DKI Jakarta penyebab polusi di Jakarta semakin buruk akibat emisi kendaraan bermotor yang mencapai 75 persen, ditambah pencemaran dari industri dan limbah. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Lewat penerimaan negara tersebut, Fajry menambahkan, pemerintah juga dapat mengalokasikan untuk anggaran perubahan iklim dengan jumlah lebih besar.

"Dari 2016-2019, APBN hanya berkontribusi sebesar 32,6 persen per tahun dari total kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 266,2 triliun per tahun," tuturnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya