Covid-19 Masih Tinggi di Jakarta, Ombudsman Minta Pemprov DKI Tidak Terburu-buru Buka Sekolah

Teguh mengatakan kebijakan pembukaan sekolah Jakarta, harus selaras dengan kota-kota penyangga.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Mar 2021, 11:49 WIB
Petugas menyemprotkan disinfektan di kelas SD Negeri Kota Bambu 03/04, Jakarta, Sabtu (21/11/2020). Pemerintah pusat memberikan kewenangan pemerintah daerah membuka sekolah dan melakukan pembelajaran tatap muka pada semester genap tahun ajaran 2020/2021. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Omudsman perwakilan Jakarta mengingatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak terburu-buru membuka pembelajaran tatap muka di sekolah.

Hal ini seiring menguatnya rencana uji coba kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Ketua Ombudsman Jakarta, Teguh P Nugroho mengatakan kebijakan pembukaan sekolah Jakarta, harus selaras dengan kota-kota penyangga.

Merujuk pada Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmedagri) Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro (PPKM Mikro) dan mengoptimalkan Posko Penanganan Covid-19 di tingkat desa dan kelurahan utuk pengendalian Covid-19.

"Dalam diktum ke satu, poin a dan b ada pengkhususan tersendiri bagi Gubernur DKI dan Gubernur Jawa Barat berikut lima wilayah penyangga DKI Jakarta," ujar Teguh, Rabu (24/3).

Dalam Inmendagri tersebut, Teguh menegaskan proses pembelajaran di sekolah masih dilakukan secara daring, percontohan kegiatan belajar mengajar di sekolah baru bisa dilaksanakan oleh universitas atau akademi. Sementara jenjang pendidikan SD hingga SMA masih dilakukan secara daring.

Lagi pula, Teguh mengingatkan status Jakarta dan kota-kota penyangga masih berstatus pembatasan aktivitas masyarakat.

"Setiap daerah yang telah mendapat status PSBB tidak bisa melakukan pemelajaran secara tatap muka," ujarnya.

Selain itu, Ombudsman Jakarta Raya mengimbau Satgas masing-masing daerah berkonsultasi terlebih dahulu dengan Kementerian Kesehatan mengenai kajian tentang tren penularan kasus positif Covid-19.

"Kajian tersebut mencakup angka transmisi dan dampak Covid-19 di wilayah tersebut, wilayah sebaran, kemampuan sarana dan prasarana kesehatan di wilayah menyiapkan kajian terlebih dahulu sebagai dasar para kepala daerah dalam mengambil kebijakan," jelasnhya.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 2 halaman

Tak Hanya Merujuk Data Harian

Petugas disemprot disinfektan sebelum menjemput pasien Covid-19 menggunakan bus sekolah di Puskesmas Jatinegara, Jakarta, Selasa (22/9/2020). Bus sekolah Pemprov DKI kini dialihfungsikan menjadi kendaraan untuk mengantar pasien Covid-19 berstatus OTG menuju Wisma Atlet. (merdeka.com/Imam Buhori)

Pengingat juga datang dari epidemiolog Indonesia yang mengajar di Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman yang menilai zonasi sebagai pertimbangan dibukanya sekolah tidak tepat.

"Karena mengingat zonasi ini tidak melibatkan indikator test positive rate yang memadai. Jadi zonasi tidak serta merta bisa jadi rujukan valid," ujar Dicky saat berbincang dengan merdeka.com.

Pertimbangan penting bagi pemerintah pusat dan daerah jika mengizinkan kembali belajar mengajar dilakukan di kelas adalah persentase positivity rate testing, ketersisian rumah sakit oleh pasien Covid-19.

Selain itu, Dicky mengingatkan pemantauan tingkat positif Covid-19 perlu dilakukan setiap dua minggu. Sehingga tidak hanya merujuk dengan data harian saja.

Mengingat jumlah kasus yang dipublikasi tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, Dicky mengingatkan seluruh pemangku kebijakan berhati-hati memutuskan para murid dan guru bisa kembali bersekolah.

"Situasi ini masih sangat serius jadi harus sangat selektif yang mana yang memang harus dan bisa tatap muka dengan penguatan standar pencegahan penularan Covid-19, dan mana sekolah yang bisa secara daring," jelasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya