Pemerintah Terus Berutang, DPR Ingatkan Risiko Nilai Tukar

Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah perlu mendapatkan perhatian serius.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jun 2020, 12:40 WIB
Aktivitas penukaran uang dolar AS di gerai penukaran mata uang asing PT Ayu Masagung, Jakarta, Kamis (19/3/2020). Nilai tukar Rupiah pada Kamis (19/3) sore ini bergerak melemah menjadi 15.912 per dolar Amerika Serikat, menyentuh level terlemah sejak krisis 1998. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus menerbitkan utang guna membiayai stimulus ekonomi di tengah pandemi Corona Covid-19 ini. Langkah ini untuk menahan Indonesia jatuh ke dalam jurang resesi. Namun langkah penerbitan utang ini harus dilakukan dengan hati-hati.  

Wakil Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Amir Uskara meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam menetapkan utang luar negeri (ULN). Mengingat, saat ini pertumbuhan ULN pemerintah terus tumbuh meskipun berada di angka yang terkontrol.

Pada bulan April lalu, utang pemerintah tumbuh di angka 1,6 persen.Sementara untuk utang swasta secara tahunan tumbuh negatif -4,2 persen.

“Pertumbuhan utang luar negeri pemerintah perlu mendapatkan perhatian serius,” ujar Amir di Jakarta, Selasa (23/6/2020).

Menurut Amir, risiko utang ini berkaitan juga pada fluktuasi nilai tukar rupiah. Sebab, pada awal penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) nilai tukar rupiah melemah meskipun saat ini kembali menguat.

"Kami melihatnya risiko utang pemerintah juga berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar rupiah. Pada saat pelonggaran PSBB rupiah kembali mengalami pelemahan dan berakibat pada beban utang yang meningkat," jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Beban Bunga

Pekerja menunjukan mata uang Rupiah dan Dolar AS di Jakarta, Rabu (19/6/2019). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sore ini Rabu (19/6) ditutup menguat sebesar Rp 14.269 per dolar AS atau menguat 56,0 poin (0,39 persen) dari penutupan sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar )

Dia menuturkan, meskipun ULN dibutuhkan untuk stimulus perekonomian, tapi pemerintah perlu memperhatikan beban pembayaran bunga yang harus diantisipasi. Mengingat, bunga utang Indonesia relatif tinggi dibandingkan negara lain di ASEAN.

Tercatat imbal hasil utang atau yield tenor 10 tahun mencapai 7,4 persen per 15 Juni 2020. Padahal inflasi di Indonesia relatif rendah yang mana selama tiga tahun belakangan ini berada di kisaran 3 persen.

Oleh karena itu, politisi PPP itu menyarankan pemerintah untuk melakukan optimalisasi pembiayaan ULN dan mencari alternatif pembiayaan yang lebih murah. Sementara itu utang harus digunakan untuk belanja yang benar benar produktif dan bisa menggerakkan ekonomi umat di saat pandemi masih berlangsung.

"Dalam situasi pandemi di dalam negeri yang belum membaik, sementara secara global di Amerika angka positif Covid-19 tembus 2 juta orang. Tentu ini akan berdampak terhadap pemulihan ekonomi yang tidak pendek, butuh waktu yang agak lama,” tutup legislator dapil Sulawesi Selatan I itu.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya