Pemisahan Alur Laut Indonesia Dinilai Belum Siap

Bagan pemisahan alur laut di Selat Sunda dan Lombok resmi diberlakukan secara penuh pada 1 Juli 2020

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Jun 2020, 20:00 WIB
Ilustrasi kapal laut

Liputan6.com, Jakarta - Traffic Seperation Scheme (TSS) atau bagan pemisahan alur laut di Selat Sunda dan Lombok resmi diberlakukan secara penuh pada 1 Juli 2020 mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki TSS di alur laut kepulauannya.

Proposal tersebut disetujui dalam Forum International Maritime Organization (IMO) Maritime Safety Committee (MSC) ke 101 yang berlangsung di London, Inggris, beberapa waktu lalu.

Hampir dua tahun Indonesia berjuang meyakinkan anggota IMO untuk menyetujui proposal TSS yang diajukan. Keberhasilan ini menjadi bukti keseriusan Indonesia untuk berperan aktif di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dunia serta perlindungan lingkungan maritim khususnya di wilayah perairan Indonesia.

Tentu saja keputusan itu mendapat sambutan yang meriah di dalam negeri. Dengan penuh optimisme, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) Kementerian Perhubungan terus berbenah dalam menyiapkan segala hal untuk pelaksanaan TSS tersebut.

Dalam beberapa kesempatan, Dirjen Perhubungan Laut Agus Purnomo menyatakan pihaknya telah mempersiapkan segala hal menjelang pemeberlakuan TSS tersebut. Mulai dari patroli kapal KPLP hingga sarana kenavigasian yang mampu beroperasi 24 jam.

Namun begitu, sebagian kalangan menilai terkesan ada euforia dalam persiapan pemberlakuan TSS. Pasalnya, kesiapan sarana dan prasarana di kedua selat strategis belum sepenuhnya rampung jika tidak hendak disebut cekak sama sekali.

"Jangan euforia dulu soal TSS. Waspadai nanti kalau sudah berjalan kemudian ada kecelakaan sementara sarana dan prasarana kita belum memadai, kita bisa malu di dunia internasional," ungkap Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi dalam keterangan tertulis, Sabtu (20/6/2020).

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

2 dari 2 halaman

Dua Kepentingan

Petugas mengecek kesiapan kapal chemical tanker MT Sinar Morotai milik Samudera Indonesia di perairan Merak Banten, Kamis (5/12/2019). Salah satu armada berjenis chemical tanker ini bermuatan 4.500 KL untuk memenuhi asas cabotage dan transportasi logistik di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Siswanto mengungkapkan, sejauh ini institusi yang berwenang penuh dalam hal penegakan aturan keselamatan dan keamanan di laut masih mendua.

Ada dua institusi yang mengklaim sebagai Indonesia Coast Guard yang resmi yakni Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP). Sayang, keduanya belum siap sepenuhnya menyambut TSS.

"Jadi, soal tanggung jawab keamanan dan keselamatan maritim itu siapa? Jangan sampai nanti ada ketidaksinkronan dan jangan sampai ini dipertontonkan di dunia internasional," cibirnya.

Maka dari itu, ia meminta kepada pemerintah untuk menyiapkan aspek manajerial itu dengan baik. Begitu juga dengan sarana dan prasarana pendukungnya. Menurutnya, ship reporting system menjadi bagian terpenting dalam menopang keselamatan pelayaran di daerah choke points dunia tersebut.

"Saya melihat ship reporting system ini penting. Masalahnya, siapa yang akan menjadi leading agency-nya? Jadi jangan nanti pas ada kejadian pada lepas tangan dan saling menyalahkan," imbuh Siswanto.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya