Kuasa Hukum: KPK Harusnya Ikut Membahas UU karena Bagian dari Eksekutif

Pihaknya meminta MK memutuskan menunda keberlakuan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 09 Des 2019, 18:34 WIB
Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi. (Lputan6.com/Johan Tallo)

 

Liputan6.com, Jakarta - Sidang pendahuluan permohonan uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dimulai hari ini di Mahkamah Konstitusi.

Salah satu anggota kuasa hukum pemohon Feri Amsari mengatakan, jika KPK dipandang sebagai bagian dari eksekutif sebagaimana diputusan oleh MK, seharusnya lembaga itu diajak dalam pembahasan UU tersebut di DPR.

"Sehingga, begitu Supres atau Surat Presiden yang mengirim perwakilan-perwakilan sebagai perwakilan pemerintah dalam pembahasan UU, harusnya mengirim juga perwakilan dari KPK," kata Feri membacakan ringkasan pokok permohonan di depan panel majelis hakim persidangan MK, Jakarta, Senin (9/12/2019).

"Tetapi, pemerintah melalui surat presiden itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Birokrasi. Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung," lanjut dia.

Karenanya, masih kata Feri, dalam provisi pihaknya meminta MK memutuskan untuk menunda keberlakuan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Dalam pokok permohonan, mahkamah menjatuhkan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum yang mengikat," minta Feri.

Selain itu, masih kata dia, menyatakan UU a quo tersebut mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.

"Memerintahkan amar putusan Majelis MK untuk dimuat dalam berita negara. Atau majelis hakim MK mempunyai pendapat lain, kami memohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono," lanjut Feri.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Pembahasan Sangat Cepat

Sementara itu, salah satu kuasa hukum pemohon lainnya, Muhammad Isnur menambahkan dalam pokok permohonan, bukan saja tidak dihadiri oleh KPK tapi juga tak melibatkan publik, serta ahli secara luas.

"Naskah akademik RUU a quo tidak dapat diakses oleh publik. Pembahasannya sangat cepat, kita bisa lihat hanya 11 hari pembahasan UU disahkan. kemudian juga UU a quo tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai," kata Isnur.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya