Ramai-Ramai Pakai Kaus Kaki dan Selimut Tebal Saat Tidur Malam

Umumnya pada pagi hari suhu udara berkisar 20 sampai 21 derajat Celcius, sebenarnya kondisi ini lazim terjadi setiap tahun.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 25 Jun 2019, 09:00 WIB
Petugas mengecek penguapan air di Stasiun Klimatologi BMKG DIY (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Suhu dingin udara yang tidak biasa melanda Yogyakarta beberapa hari terakhir ini. Pada siang hari, suhu udara berada di kisaran 31 sampai 32 derajat Celcius, sedangkan pada malam hari dapat mencapai 18 derajat Celcius.

Perubahan suhu udara yang ekstrim mulai dirasakan setelah maghrib. Saat malam hari, tidak sedikit warga Yogyakarta yang tidur berselimut tebal dan memakai kaus kaki.

Suhu dingin masih terasa pada pagi hari dan berangsur kembali terasa panas setelah pukul 10.00 WIB dan mencapai puncaknya pada tengah hari.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY mencatat suhu udara malam dan pagi hari di DIY perlahan naik jika dibandingkan dengan beberapa hari sebelumnya. Pada Minggu (23/6/2019) malam suhu udara 19 derajat Celcius, sedangkan pada 21 dan 22 Juni lalu mencapai 18 derajat Celcius.

"Umumnya pada pagi hari suhu udara berkisar 20 sampai 21 derajat Celcius, sebenarnya kondisi ini lazim terjadi setiap tahun," ujar Reni Kraningtyas, Kepala Stasiun Klimatologi BMKG DIY, Senin (24/6/2019).

Reni mengungkapkan perubahan suhu dingin yang signifikan di Yogyakarta karena saat ini sudah memasuki musim kemarau.

Saat kemarau, jumlah tutupan awan di atmosfer relatif sedikit, sehingga radiasi matahari berupa gelombang pendek yang menyinari bumi pada siang hari dipantulkan kembali sebagai radiasi gelombang panjang di atmosfer pada malam hari tanpa ada halangan.

Akibatnya, panas yang dipantulkan dari bumi langsung terbuang ke angkasa sehingga udara di permukaan bumi menjadi dingin, kandungan uap air di udara sedikit, dan kelembaban udara kecil.

"Sekarang ini suhu dingin udara sudah mulai wajar atau normal kembali, namun kondisi ini bisa berulang lagi jika kondisi atmosfer tidak banyak tertutup awan, terlebih musim kemarau masih panjang, sampai dengan September dan puncak kemarau diprediksi pada Agustus," tutur Reni.

2 dari 2 halaman

Pengaruh Sekunder

Petugas mengecek penguapan air di Stasiun Klimatologi BMKG DIY (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Reni menuturkan angin Monsoon Dingin Australia dominan bertiup saat musim kemarau. Kondisi ini turut menyumbang suhu udara rendah di malam hari.

Angin itu tidak banyak membawa uap air, sehingga udara terasa kering dan kelembaban udara relative kecil.

"Jadi di samping udara dingin juga bersifat kering," kata Reni.

Ia juga mengimbau kepada masyarakat untuk terus memantau informasi dari BMKG DIY, menyetel pendingin ruangan dengan suhu tidak terlalu rendah, menggunakan krim atau pelembab agar kulit tidak kering, dan menggunakan selimut yang tebal pada malam hari.

Mardian (35), warga Godean, Sleman, bercerita biasanya saat tidur malam hanya menggunakan celana pendek dan kaus tipis, akan tetapi udara dingin memaksanya untuk mengenakan jaket, selimut, dan kaus kaki.

"Ternyata bukan saya dan keluarga saja yang membahas masalah ini, tetapi teman-teman saya juga, mengapa udara di siang hari sangat panas dan malam hari begitu dingin, bahkan ada beberapa teman yang enggan keluar rumah jika sudah di atas pukul 20.00 WIB karena hawa dingin menusuk," ucapnya.

Sigit (38), warga Mlati, Sleman, mengaku bangun tidur lebih siang daripada biasanya karena suhu udara pada pagi hari terasa dingin.

"Untungnya waktu kerja saya fleksibel, jadi tidak mengganggu pekerjaan," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya