Menanti Akhir Jokowi Vs Prabowo di Ujung Palu Konstitusi

Lima hari sudah Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang sengketa hasil Pilpres 2019.

oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 24 Jun 2019, 00:02 WIB
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman didampingi sejumlah Hakim Konstitusi memimpin sidang perdana sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6/2019). Sidang itu memiliki agenda pembacaan materi gugatan dari pemohon. (Lputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Lima hari sudah Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang sengketa hasil Pilpres 2019. Sejumlah bukti, saksi, dan ahli telah dihadirkan para pihak di hadapan mahkamah.

Mulai 24 hingga 27 Juni, MK akan melakukan rapat pemusyawaratan hakim. Sidang putusan akan digelar MK paling lambat 28 Juni.

"Insyaallah, tunggu saja, 28 Juni (putusan) paling lambat," kata Ketua MK Anwar Usman di Jakarta, Sabtu 22 Juni.

Ketua Konstitusi Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi memprediksi MK akan menolak permohonan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Prediksi ini dikaitkan dengan keterangan ahli dan saksi tim Prabowo-Sandiaga yang lemah dalam persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK.  

Sejumlah keterangan ahli dan saksi yang dianggap lemah antara lain, soal daftar pemilih tetap (DPT) siluman, data invalid di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU dan ketidaknetralan kepala daerah.

"Ya kalau petimbangan keterangan saksi DPT menurut saya itu ditolak MK. Kalau model soal Situng pasti ditolak. Karena apa? Situng bukan penentu hasil Pemilu," ujar Veri dalam Pemaparan Hasil Mini Research: Perbandingan Dalil Pihak-Pihak, Alat Bukti dan Ketentuan Perundang-Undangan Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Presiden 2019 di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2019).

Terkait tuduhan BPN Prabowo-Sandiaga bahwa kepala daerah melakukan pelanggaran Pemilu juga tidak bisa dibuktikan. Contoh kasus, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan 31 kepala daerah lain yang menyatakan dukungan kepada pasangan capres-cawapres 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin. 

Menurut Veri, saksi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak bisa meyakinkan hakim MK bahwa Ganjar Pranowo dan 31 kepala daerah melanggar UU Pemilu. Di samping itu, kasus deklarasi dukungan Ganjar Pranowo kepada Joko Widodo-Ma’ruf Amin sudah ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Dalam putusan Bawaslu, Ganjar Pranowo dianggap tidak melakukan pelanggaran pidana atau administratif Pemilu. Melainkan hanya melakukan pelanggaran etika dalam UU Pemerintahan Daerah.

"Soal mas Ganjar Pranowo dan beberapa kepala daerah itu sudah ada bantahan juga sebenarnya dari Bawaslu. Karena itu sudah diproses oleh Bawaslu," ucapnya.

Veri kemudian menyinggung keterangan ahli Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Jaswar Koto bahwa terdapat data invalid dalam Situng KPU. Menurut Veri, seharusnya data Situng KPU tidak dipersoalkan di MK. Sebab, hasil Pilpres 2019 tidak ditentukan oleh Situng melainkan berdasarkan rekapitulasi suara berjenjang dari tingkat TPS sampai KPU RI. 

"Mungkin yang modelnya begitu MK mengatakan masalah ini ada pada administratifnya tapi tidak terkait dengan hasil Pemilu. Jadi secara adminsitratif sangat mungkin itu dikoreksi," kata dia.

Senada dengan Veri, Direktur Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menilai gugatan yang dilayangkan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno bakal ditolak MK. Selain keterangan ahli dan saksi yang tidak kuat, menurut Feri banyak data-data yang disampaikan dalam persidangan tidak valid. 

"Dari fakta-fakta persidangan, saya menilai saksi dan ahli memang lemah dalam membuktikan dalilnya," kata dia. 

Pria kelahiran Padang, Sumatera Barat, 2 Oktober1980 ini juga mempertanyakan isi petitum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dia menyebut 15 poin dalam petitum tersebut sangat tidak berkesesuaian antara satu dengan lainnya. Misalnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meminta MK memutuskan pemungutan suara ulang (PSU), di sisi lain mendesak MK agar mengganti komisioner KPU. 

"Saya tanya, kalau dikabulkan semua, minta PSU tapi minta juga seluruh komisioner KPU diberhentikan. Kalau dikabulkan semua siapa yang mau melakukan PSU. Jadi ada yang enggak logis," tegasnya.

Sementara itu, Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti meyakini hakim Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan gugatan hasil Pilpres 2019 yang diajukan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berdasarkan fakta persidangan. Bukan berdasarkan asumsi atau imajinasi para saksi atau ahli Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Hakim nanti akan menyimpulkannya, melihat fakta," kata Bivitri.

Dari kajian Bivitri, selama persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK berlangsung, ahli dan saksi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak mampu membuktikan tuduhan kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam Pilpres 2019. Mereka juga tidak bisa menjelaskan kepada hakim MK berapa total suara yang dicurangi kubu 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Bivitri melanjutkan, hakim MK dalam mengambil putusan tidak bisa menggunakan asumsi pribadi dengan mendengarkan keterangan saksi. Harus ada bukti otentik dari para saksi yang mendukung dalil-dalil dalam gugatan. 

"Jadi katakanlah ada kecurangan, dicobloskan 15 suara. Nah tidak bisa hakim berasumsi 'oh berarti 15 x 810.329 TPS sama dengan segini'. Tidak bisa. Jadi tidak bisa dengan metode sampling," ujarnya.

"Hakim itu harus betul-betul melihat semua hal yang dibuktikan oleh pemohon dan kemudian diperiksa silang oleh termohon dan juga pihak terkait. Dan harus membuktikan bahwa itu semua fakta sehingga keputusan bisa diambil," imbuhnya.

Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini sepakat bila kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meminta MK tidak menjadi mahkamah kalkulator. Namun, dia mengingatkan berdasarkan Undang-undang tugas MK menyelesaikan sengketa hasil bukan proses Pemilu. 

Ini sekaligus menjawab 15 isi petitum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mendesak MK mendiskualifikasikan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin hingga meminta MK mengganti seluruh komisioner KPU. 

"Apakah anggota KPU semuanya bisa dipecat atau digantikan tempatnya adalah DKPP bukan MK," tegas dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

2 dari 3 halaman

Hormati Putusan MK

Suasana saat Ketua Kuasa Hukum KPU untuk Pilpres, Ali Nurdin memberikan keterangan dalam sidang sengketa Pilpres 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (18/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan jawaban dari termohon. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono berharap masyarakat nantinya bisa menerima apapun hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pilpres 2019. 

"Sebentar lagi kita akan dengar keputusan MK, apapun keputusan kita harus bisa terima, kita harus wise," ujar Gatot saat menghadiri Festival Damai Millenial Road Safety, di Monas Jakarta, Minggu (23/6/2019).

Eddy juga mengingatkan tentang pentingnya menjaga persatuan di masyarakat. Menurutnya, hal itu penting mengingat Pemilu 2019 sudah berakhir.

Festival ini sendiri bertujuan untuk menyosialisasikan disiplin dalam berlalu lintas serta merajut kembali persatuan Indonesia, khususnya bagi generasi milenial.

"Kalau aman kita bisa kumpul seperti ini. Oleh karena itu kita temanya ada dua merajut persatuan. Kalau tidak aman tentunya saudara kita tidak bisa melaksanakan kegiatan seperti ini," tuturnya.

"Kita kita setuju menolak kekerasan. Kita setuju menolak anarkisme," dia mengakhiri.

Terpisah, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar mengatakan, apapun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa Pilpres 2019 semuanya pasti baik.

"Keputusan apapun nanti itu akan kita nilai baik. Tentu ya ada, tentu ya putusan yang betul-betul hadir penuh dengan kecermatan. Apapun keputusannya," ucap KH Miftachul di Jakarta, Minggu (23/6/2019).

Dia meyakini, putusan nanti di MK adalah kebenaran yang menang.

"Kita yakin kebenaran akan menang. Karena kebenaran sudah begitu nyata di depan kita. Kita enggak ragu lagi," ungkapnya.

Karena itu, pihaknya mengimbau semua masyarakat agar bisa menerima keputusan dengan baik itu. Tidak perlu ramai-ramai dan menghabiskan energi untuk menyikapinya.

3 dari 3 halaman

600 Polisi

Majelis hakim memimpin sidang sengketa Pilpres 2019 Gedung MK, Jakarta, Kamis (20/6/2019). Sidang beragenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menerjunkan 600 personel untuk mengatur arus lalu lintas di kawasan sekitar Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) saat pembacaan hasil putusan sidang sengketa Pemilu 2019. Rencananya, putusan akan dibacakan Hakim Konstitusi pada 28 Juni.

"Untuk menangani rekayasa lalu lintas di depan Gedung MK, kurang lebih 600 personel," ujar Direktur Lantas PMJ, Komisaris Besar Polisi Yusuf saat dikonfirmasi wartawan, Minggu (23/6/2019).

Yusuf menuturkan, pihaknya telah membuat rencana rekayasa lalu lintas tersebut. Jalan Medan Merdeka Barat atau sekitar patung kuda, Jakarta Pusat, dekat Gedung MK akan kembali ditutup. Pihaknya mengantisipasi adanya aksi massa yang datang.

"Karena center-nya adalah Jalan Medan Merdeka Barat dan berdekatan dengan istana, sehingga ada beberapa ruas jalan yang akan kita alihkan kalau ada pergerakan massa. Aksi massa ada disana kita alihkan. Medan merdeka barat yang dari Thamrin kita belokkan ke kiri Budi Mulya, maupun belok ke kanan Medan Merdeka Selatan," tuturnya.

Kemudian, Jalan Medan Merdeka Utara yang menuju ke depan Istana Negara kemungkinan kemungkinan kemballi akan ditutup saat hari pembacaan putusan. Meski demikian, semua hal tersebut masih bersifat situasional dengan melihat kondisi di lapangan nanti. Jika diperlukan, maka penutupan jalan akan diterapkan.

"Termasuk juga yang di depan Istana, kita tutup juga di simpang Harmoni, kemudian dari Harmoni kita belokkan ke Juanda maupun yang Jalan Veteran. Ini sudah kita buat ya (rekayasa lalu lintasnya). Tapi nanti kita melihat eskalasi apakah kegiatan itu perlu dilakukan atau tidak," tandasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya