Rekrutmen Jaringan Teroris di Indonesia Dilakukan secara Tatap Muka

Jaringan teroris di Indonesia lebih memilih perekrutan secara langsung atau tatap muka (offline) daripada melalui media sosial (online).

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Mei 2018, 06:54 WIB
Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Jaringan teroris di Indonesia lebih memilih perekrutan secara langsung atau tatap muka (offline) daripada melalui media sosial (online). Media sosial hanya dimanfaatkan untuk menyebarkan paham radikalisme.

Pengamat teroris Universitas Indonesia, Solahudin, mengatakan perekrutan jaringan teroris di Indonesia memang berbeda dengan di beberapa negara seperti di kawasan Eropa dan Malaysia yang lebih menggunakan jalur online

"Di negara lain rekrutmen lewat media sosial. Di Eropa misalnya, orang yang enggak pernah ikut pengajian tiba-tiba hilang dan muncul di Suriah. Di Indonesia, radikalisasi betul lewat sosial media. Tapi untuk proses rekrutmen mayoritas lebih banyak terjadi secara offline, tatap muka. Jadi tidak lewat dunia maya terutama dalam proses rekrutmennya," kata Solahudin di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rabu, 16 Mei 2018.

Menurut dia, kelompok-kelompok ekstremis di Indonesia tak terlalu percaya dengan pola perekrutan online. Sebab, biasanya pengguna media sosial menggunakan identitas palsu. Misalnya, ada yang fotonya perempuan, tapi ternyata laki-laki dan sebaliknya.

Dia mengatakan, dari 75 narapidana teroris yang diteliti dan diwawancaranya, hanya 9 persen atau tujuh kasus yang menyatakan bergabung dengan kelompok ekstremis via media sosial. "Sisanya, 91 persen mengatakan mereka direkrut kelompok ekstremis melalui offline. Artinya tatap muka dan melalui forum-forum keagamaan," ujar Solahudin.

 

2 dari 2 halaman

Manfaatkan Kebebasan Berekspresi

Ilustrasi Foto Teroris (iStockphoto)

Forum keagamaan yang dimaksud adalah pengajian-pengajian yang materinya berkaitan dengan ekstremisme. Hal ini mudah dilakukan karena kebebasan berekspresi dan berorganisasi di Indonesia.

"Jadi mudah ditemui pengajian-pengajian radikal," kata Solahudin.

Beberapa tahun lalu, media asing meliput masjid-masjid yang dijadikan tempat propaganda pengajian kelompok ISIS. Namun, itu tak bisa dihentikan karena adanya UU yang melindungi kebebasan berekspresi.

Pada UU Terorisme yang berlaku saat ini juga tak ada pasal untuk menjerat pihak-pihak yang mengajarkan terorisme.

Reporter : Hari Ariyanti 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya