Donald Trump Tuding Eks Tangan Kanannya Kehilangan Akal Sehat

Presiden Donald Trump sebut mantan tangan kanannya, Steve Bannon, kehilangan akal sehat setelah dipecat dari Gedung Putih.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 04 Jan 2018, 11:07 WIB
Kepala Strategi pemerintahan Donald Trump, Steve Bannon (AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Donald Trump menyebut bekas tangan kanannya di Gedung Putih, Steve Bannon, kehilangan akal sehat pascakeluar dari pekerjaannya. Alasan tudingan Trump tersebut merujuk pada kutipan Bannon di sebuah buku yang menyebut pertemuan antara putra Presiden Amerika Serikat (AS) ke 45 itu dengan sekelompok oknum asal Rusia sebagai 'pengkhianatan terhadap negara'.

Sekelompok oknum asal Rusia tersebut menawarkan Donald Trump Jr beberapa informasi penting yang dapat menjatuhkan Hillary Clinton pada sebuah pertemuan pada Mei 2016 lalu.

Beberapa kutipan tentang hal tersebut terangkum dalam sebuah buku baru karya jurnalis veteran Michael Wolf.

"Steve Bannon tidak ada kepentingan apapun dengan saya ataupun dengan kapasitas saya sebagai presiden. Ketika ia dipecat, ia tidak hanya kehilangan pekerjaan, melainkan juga kehilangan akal sehatnya," ujar Trump pada hari Rabu (3/1/2018), sebagaimana dikutip dari laman BBC.

"Steve adalah staf yang bekerja pada saya setelah saya berhasil mengalahkan 17 kandidat calon presiden di Partai Republik, dan saya akui ia seorang yang bertalenta," lanjut Trump.

Trump berujar yakin bahwa Steve telah belajar tentang proses meraih sebuah kemenangan. Namun, ia sangat menyayangkan sikap Steve saat ini yang dinilainya melupakan peran seluruh pria dan wanita di Partai Republik yang bekerja sama meraih kemenangan presidensil.

"Ia melontarkan asumsi yang tidak mendasar," pungkas Trump.

 

2 dari 3 halaman

Tarik Ulur Hubungan antara Trump dan Bannon

Kicauan Donald Trump Pertama pada 2018: Pakistan Penipu (SAUL LOEB / AFP)

Steve Bannon merupakan mantan Kepala Bidang Strategis yang memainkan peranan penting dalam meloloskan Trump ke Gedung Putih. Ia juga merupakan salah satu otak di balik kampanye 'America First'.

Namun, beberapa isu panas menyebabkan koalisi Trump di Gedung Putih goyah, dan salah satuya menyebabkan Bannon memutuskan keluar pada bulan Agustus lalu.

Bannon pun kembali menjabat sebagai pimpinan situs Breitbart News. Di sana, ia telah merencanakan untuk membantu kegiatan pemerintahan Trump sebagai tangan kanan di luar pemerintahan.

Diakbarkan pula bahwa Trump sempat melakukan pertemuan dengan Bannon pada 13 Desember lalu. Tanggal itu merupakan pelaksanaan pemilu khusus Senat AS yang diadakan di negara bagian Alabama.

Sayangnya, kandidat Partai Republik yang didukung oleh Bannon, Roy Moore, kalah dalam pemilu tersebut.

Menurut laporan harian The New York Times, Presiden Trump diektahui bertemu dengan Bannon selama sekitar 15 menit . Namun salah satu juru bicara Gedung Putih, Sarah Sanders, mengatakan bahwa Trump terakhir kali bertemu dengan Bannon di awal bulan Desember lalu.

3 dari 3 halaman

Tony Blair Mengharapkan Pekerjaan dari Donald Trump

Tony Blair bercerita mengenai pengalamannya selama dua periode menjadi Perdana Menteri di Inggris kepada Jokowi (Abnxcess.com)

Kepada penulis buku terkait, Bannon mengatakan bahwa telah dilakukan investigasi mengenai kemungkinan adanya kolusi antara oknum dari Rusia dan tim kampanye Trump.

"Mereka ingin menempatkan Donald Jr layaknya telur yang hendak dipecahkan di televisi nasional," ujar Bannon.

Selain itu, buku karya Michael Wolf itu juga menyinggung mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, yang melakukan pertemuan dengan Trump pada Februari 2016. Disebutkan bahwa Blair mencurigai pihak intelijen Kerajaan Britania Raya melakukan aksi mata-mata terhadap Trump dan kampanye pemilu yang dilakukannya. Wolf menulis hal ini berdasarkan laporan yang dituangkan harian The Times.

The Times juga sempat menulis laporan tentang indikasi Blair merayu Trump untuk memberikannya jabatan sebagai penasihat AS untuk urusan Timur Tengah. Namun, juru bicara Blair langsung membantah keras tudingan tersebut dan menyebutnya sebagai ‘rekayasa publik’.

Sebulan setelah laporan tersebut terbit, mantas sekretaris humas Gedung Putih, Sean Spicer, mengatakan kepada media bahwa pihak intelijen Inggris kemungkinan juga turut ambil peran dalam operasi mata-mata yang dilakukan ke kediaman pribadi Trump di Trump Tower, New York.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya