Cerpen: Hai

Berikut cerpen pilihan Liputan6.com, Sabtu (23/4/2016), "Hai" karya Sumihar Deny Tampubolon.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Sep 2020, 15:10 WIB
Ilustrasi cerpen (Morning Tenderness/afremov)

Liputan6.com, Jakarta Tadi malam lagi-lagi kau datang tanpa adanya pemberitahuan. Lewat malam yang selalu pekat kau menyapa bantalku dan mengecup kelopak mataku. Aku tahu itu kau. Mataku memang terpejam rapat oleh letih yang menggerogot, tapi aku tahu itu kau. 

Tidak akan ada tangan yang menyapa rambutku seperti yang kau lakukan dan juga tatapan manja yang dulu sering kita obrolkan. Kau masih dengan senyum kanak-kanakmu.

Kurasakan tanganku menyapa wajahmu, ya dulu aku sering melakukan hal itu dan kau memang sangat menyukainya.

Aku tahu, sudah pasti kau yang menarik lenganku dan menjadikannya bantal, dan masih seperti dulu bantal-bantal berserakan di sampingmu namun kau memilih lenganku sebagai bantalmu. Kurasakan jelas kau beringsut perlahan dan meletakkan telingamu pada dadaku yang sebelah kiri. Kau selalu ingin mendengar detak jantungku. Katamu itu menyenangkan. Tidak ada yang berubah. Sama sekali tidak ada.

Cukup lama kau berdiam, tidak ada suara, hanya ada detakan jam yang entah kenapa begitu terdengar jelas jantungku seolah-olah menyelaraskan tempo dengan irama jam. Hening, terlalu hening malah. Tidak ada suara angin, salakan anjing tetangga atau lantunan musik. Sudah jelas ini mimpi.

Kubuka mataku perlahan. Kulihat kau tiduran di dadaku dengan posisi memunggungiku. Rambutmu hampir sepinggang. Teringat dulu aku pasti sangat marah jika kau memotongnya. Akhirnya kau biarkan juga dia memanjang seperti ini.

Ada rasa takut untuk sekedar mengusap rambutmu. Aku tahu ini mimpi. Hanya masalah waktu, pagi datang, aku terbangun dan kau pergi. Kalau aku mengusapmu aku tahu kau akan hilang seperti di mimpi-mimpi sebelumnya. Atau apabila aku memintamu mengarahkan wajah padaku, pasti kau akan berubah entah jadi siapapun. Aku tahu itu. Aku akan membiarkanmu terbaring di dadaku dan membiarkan aroma parfummmu menyapa indra penciumanku.

“Ini mimpi bukan?” aku bertanya entah pada siapa, mungkin pada diriku sendiri.

“Menurutmu?” Kau menjawab dengan suara yang selama ini telah hilang. Sangat menyenangkan bisa mendengar suaramu kembali.

“Ini pasti mimpi.”

“Maka ini akan menjadi mimpi.”

Di setiap ucapanmu aku merasakan getaran yang dihasilkan oleh pita suaramu.

“Lalu sampai kapan kau di sini?"

“Sampai kau terbangun.”

“Aku tidak ingin bangun.”

“Tidak mungkin. Semua orang pasti terbangun.”

“Kalau aku terbangun dan kau menghilang, buat apa aku terbangun?"

Terdiam, tidak ada jawaban. Tangan kananmu perlahan bergerak dan memeluk perutku. Pelukanmu masih sama. Lenganmu yang kecil memeluk tubuhku dan jarimu menggenggam erat kaus yang sedang aku pakai.

Dulu aku pernah menanyakan kenapa setiap kali kau memelukku, kau selalu saja menggenggam bajuku dan bahkan kadang-kadang bajuku sampai kusut.

“Biar pelukannya bisa lebih lama” itu jawaban yang selalu kau berikan dan selalu saja ada senyuman manja di akhir jawaban itu. “Hey kenapa kau selalu mencengkram bajuku setiap kali memelukku? Kenapa?” tidak ada jawaban.

“Hey, kenapa? Dijawab dong.” Aku sangat mengharapkan jawaban yang sama karena memang aku sangat merindukan kalimat yang selalu kau ucapkan dan mungkin bila beruntung aku akan mendapatkan senyuman manjamu.

Tidak ada jawaban. Kau hanya terdiam. Jangan-jangan kau tertidur. Tidak mungkin kau tertidur. Ini kan mimpi. Bila kau tertidur ke mimpi mana lagi aku harus mencarimu. Tidak ada percakapan. Kita berdua hanya terdiam. Perlahan kurasakan dadaku basah.

“Hey, kau menangis? Kenapa kau menangis?” tidak ada suara. Tidak ada jawaban. Kau bahkan tidak sesengukan. Kau memang seperti itu jika menangis. Hanya terdiam dan airmata mengalir deras.

Kubiarkan saja kau menangis, toh aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku sangat ingin menghapus airmatamu. Tapi jika kulakukan kau akan pergi dan menghilang begitu saja.

Kubiarkan saja kau menangis dan entah kenapa ada airmata yang menetes perlahan dari sela-sela mataku.

Aku dapat merasakan dengan jelas kau menarik kaus yang kukenakan dan menggunakannya untuk menghapus airmatamu.

Dasar manja, kau masih tetap kau yang selalu menjadikan baju apapun yang kupakai untuk mengelap airmatamu. Aneh memang, tapi aku menyukai kebiasaan-kebiasaan anehmu.

Tidak beberapa lama terdengar hembusan nafasmu yang perlahan dan teratur.

Sudah menjadi kebiasaanmu untuk tertidur seusai menangis. Jangan-jangan kau tertidur. Kau tidak boleh tidur. Ini hanyalah mimpi, kalau kau tertidur mau ke mimpi mana lagi aku harus mencarimu?

Hembusan nafasmu terasa semakin teratur. Aku bisa merasakan dadaku yang basah oleh airmata menerima hembusan nafasmu.

“Hey, kau tidak tidur kan? Jangan tertidur?"

Tidak ada jawaban sama sekali. Hanya bahumu yang naik turun perlahan mengikuti pola nafasmu.

“Hey bangun, jangan tidur.” Tetap saja tidak ada jawaban.

Tanpa sadar aku merengkuh tubuhmu dan mengarahkan wajahmu ke arahku. Saat itu pulalah kau menghilang. Aku bahkan belum sempat melihat wajahmu. Aroma parfummu yang memenuhi ruangan perlahan-lahan memudar dan menghilang. Hanya ada aku yang begitu kecewa dan memaki atas kebodohan sendiri.

Kaus yang kukenakan masih basah di bagian dada oleh air matamu dan di bagian punggungku terdapat bekas cengkeramanmu. Entah ke mimpi mana lagi aku harus mencarimu.

 

Sumihar Deny Tampubolon, guru Bahasa Indonesia. 

Ilustrasi: Morning Tenderness/afremov

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya