Cerita di Balik Penutupan Lokalisasi Kramat Tunggak

Saat itu, semua penghuni Karmat Tunggak diberikan siraman rohani secara berkelompok.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 25 Mar 2016, 19:25 WIB
1970 Kramat Tunggak resmi menjadi pusat prostitusi di Ibukota. Namun pada 1999 ditutup karena jumlah PSK dan angka kriminalitas meningkat.

Liputan6.com, Jakarta - Azan salat Jumat berkumandang dari Masjid Raya Jakarta Islamic Center, Koja, Jakarta Utara. Ratusan jamaah dari sudut gang-gang bergegas menuju kompleks pusat kajian Islam terbesar di Jakarta itu.

Pemandangan Jakarta Islamic Center saat ini jauh berbeda dibanding pada 1980 atau 1990-an. Pada masa itu, di tanah seluas 12 hektare itu berdiri lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Orang lebih mengenal tempat ini dengan sebutan Kramat Tunggak atau KR.

Akang yang menjadi saksi hidup penutupan lokalisasi Kramat Tunggak menuturkan, tempat penyalur syahwat para pria hidung belang itu ditutup ketika berada di puncak kejayaannya. Kendati begitu, tidak ada perlawanan dari warga.

"Nggak ada ribut-ribut. Kan udah dikasih tahu sebelumnya mau ditutup. Istilahnya, enggak ramai-ramai kayak Kalijodo," kata Akang saat ditemui Liputan6.com usai salat Jumat, Jakarta Utara, Jumat (25/3/2016).

Namun, pria 47 tahun itu mengatakan, ada yang berbeda proses eksekusi penutupan Kramat Tunggak dan Kalijodo. Banyak dai-dai kondang mengunjungi tempat ini sebelum eksekusi. Mereka memberikan siraman rohani kepada para penghuni tempat ini.

"Saya kurang tahu pasti yang kiriman siapa atau diminta siapa. Tapi waktu itu, Rhoma Irama sampai dai sejuta umat (almarhum Zainuddin MZ) sampai ke sini. Banyak lah dai-dai yang terkenal waktu itu. Ya kasih ceramah agama aja," ungkap pria asal Cilamaya itu.

Saat itu, semua penghuni Kramat Tunggak diberi siraman rohani secara berkelompok. Program itu rutin diberikan selama 3 bulan menjelang eksekusi.

Selain di musala terdekat, ceramah para dai kondang itu juga tak jarang dilakukan di tengah-tengah aktivitas PSK menerima tamu mereka.

"Ya, ceramah ngasih tahu buat balik ke jalan yang benar. Cuman kan, ya orang masing-masing. Ada (PSK) yang pulang kampung, mau dengerin, ada yang pindah malah," beber Akang.


Bagi PSK yang membandel, lebih memilih berpindah ke lokasi baru di Jakarta Utara. Seperti di lokalisasi Rawa Malang, Kolong Jembatan Cilincing, dan Pela-pela di Tanjung Priok.

Selain itu, ada pula yang 'bermetamorfosa' menjadi pelayan kafe-kafe, di sepanjang jalan Cakung-Cilincing atau yang lebih dikenal Tanker.

"Ya, banyak yang pindah ke Rawa Malang. Terus jadi pelayan kafe, nyambi tapi. Ya, tapi kalau sekarang mungkin udah pada pulang kampung, kan udah tua-tua juga kali," kata Akang.

Tamu Mancanegara

Kramat Tunggak juga menjadi magnet bagi para turis mancanegara kala itu. Sebab, selain besar, lokalisasi ini juga menyediakan kupu-kupu malam dari berbagai usia.

"Dulu jangan salah loh, banyak juga bule yang datang kemari. Yah, namanya juga lokalisasi terbesar. Jangankan kita (warga sekitar), bule juga pasti penasaran," tutur Akang.

Pada 27 April 1970, Gubernur Jakarta Ali Sadikin menetapkan Kramat Tunggak menjadi pusat lokalisasi. Tujuannya, agar semua lokalisasi di Ibu Kota terpusat di tempat ini sehingga pemerintah lebih mudah mengontrol.

Pada era 80 hingga 90-an, jumlah PSK di kawasan ini semakin bertambah, hingga mencapai lebih dari dua ribu orang dan ratusan germo.

Angka kriminalitas yang tinggi saat itu, di antara alasan lokalisasi ini ditutup. Akhirnya, pada 31 Desember 1999, Gubernur DKI Sutiyoso menutup Kramat Tunggak, hingga berubah menjadi Jakarta Islamic Center pada era Presiden Gus Dur.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya