Pengesahan APBN 2016 Bebani Industri Tembakau

Kenaikan tarif cukai setinggi 15 persen adalah ancaman serius bagi pelaku indutri tembakau.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 31 Okt 2015, 13:19 WIB
Ketakutan petani tembakau akan produksi daun tembakau yang bakal menurun tidak terbukti.

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2016 telah disahkan menjadi UU APBN 2016. Salah satu yang disahkan dalam UU APBN 2016  tersebut adalah target penerimaan cukai tembakau sebesar Rp139,8 triliun, atau naik 16 persen dari APBN 2015 yang tercatat Rp 120,6 triliun.

Data dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mengungkapkan bahwa kenaikan tarif cukai akan mencapai 15 persen berlaku di tahun 2016. Nominal kenaikan akan berbeda di tiap tingkatan tergantung jenis rokok dan kapasitas produksi.

Kenaikan yang jauh di atas target inflasi yang tercatat 4,7 persen dan pertumbuhan ekonomi 2016 yang di level 5,3 persen tersebut sangat mengecewakan para pelaku industri yang sebelumnya mengharapkan target penerimaan cukai hasil tembakau berkisar di angka 7 persen saja.

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Muhaimin Moefti mengatakan, kenaikan target penerimaan akan berbuntut pada kenaikan tarif cukai, seperti tahun-tahun sebelumnya. Moefti berharap, kenaikan harusnya disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang ada. “Paling pas memang di 7 persen,” tuturnya dikutip dalam keterangan tertulis, Sabtu (31/10/2015).

Menurut Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI-RTMM), Sudarto, kenaikan tarif cukai setinggi 15 persen adalah ancaman serius bagi pelaku indutri tembakau, khususnya segmen padat karya seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang tengah menurun.

“Kenaikan 7 persen hingga 9 persen setiap tahunnya sudah ada PHK, apalagi kalau lebih dari itu,” katanya. 

Di SPSI-RTMM sendiri terdaftar lebih dari 200 ribu karyawan yang terlibat dalam industri SKT. “Penurunan segmen SKT sudah mengakibatkan lebih dari 32 ribu pekerja di PHK di tahun 2014. Ini masih berlanjut di tahun 2015,” lanjutnya.

Menurut Sudarto, buruh yang bekerja di SKT lebih besar dari yang diduga. Data yang dimiliki SPSI-RTMM hanya 33 persen dari jumlah sebenarnya. “Saya pernah melihat data dari Kementerian Perindustrian dan itu mencapai 600 ribu pekerja di bidang rokok, tentu PHK yang mengintai akan lebih besar lagi,” jelasnya.

Sudarto meminta pemerintah memikirkan konsekuensi kebijakan tersebut karena industri rokok selama ini sudah menyerap banyak sekali tenaga kerja.

Hal senada juga dikemukakan oleh Djoko Wahyudi, Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret (MPS). Ia menjelaskan bahwa satu pabrik SKT bisa menyerap banyak pekerja sehingga pabrik SKT sangat padat karya. Seluruh pekerja juga mendapatkan upah di atas upah minimun dan setiap pegawai mendapatkan tanggungan kesehatan untuk sekitar lima anggota keluarganya.

"Kalau mereka di-PHK siapa yang akan menanggung kehidupan mereka, dari tahun 2014-2015 saja ada sekitar 30 sampai 40 ribu anggota kami yang di PHK, nah itu dikalikan saja dengan lima anggota keluarga. Sekarang siapa yang ingin menanggung kesejahteraan orang sebanyak itu," papar Djoko.

Menurutnya tarif cukai SKT memang harus terpaut jauh dengan cukai SKM, hal ini untuk membuat produksi rokok SKT dapat lebih bersaing dengan produk SKM yang tidak memerlukan banyak pekerja, sehingga modal produksinya juga tidak sebesar SKT.

Menurut data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, SKT mengisi 21 persen dari total pasar industri tembakau di tahun 2014. Dari total 995 pabrikan, 569 atau 57 persen merupakan produsen SKT. Jumlah pabrikan ini sudah mengalami penurunan dari 4.669 di tahun 2007 menjadi 995 pabrik di tahun 2014. (Amd/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya