Tantangan Industri Otomotif Indonesia

Tantangan terbesar industri otomotif adalah meningkatkan penggunaan komponen lokal.

oleh Gesit Prayogi diperbarui 03 Agu 2015, 13:00 WIB
Petugas saat mengecek mobil yang baru diturunkan dari kapal pengangkut di Tanjung Priok Car, Terminal Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (29/7/2015). Pasar otomotif nasional menyusut 15,3% selama paruh pertama 2015. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Naiknya kelas menengah Indonesia membuat permintaan terhadap barang-barang, termasuk otomotif terkerek. Permintaan kendaraan roda empat tumbuh lebih pesat. Ini terlihat dari pertumbuhan pada 2010 yang hanya 764 ribu unit kemudian naik jadi 1,208 juta unit pada 2014. Bila dirata-rata kenaikannya mencapai 20 persen per tahun.

Berbagai kalangan memperkirakan, Indonesia akan menjadi pasar terbesar otomotif di kawasan ASEAN dan sekaligus berpeluang menjadi pemain utama yang kini masih dipegang oleh Thailand.

Sejalan dengan prospek tersebut, setidaknya dalam tiga tahun terakhir sejumlah prinsipal telah meningkatkan investasinya untuk meningkatkan kapasitas produksi. Secara keseluruhan, total produksi kendaraan bermotor sudah mencapai 1,2 juta unit per tahun. Dan otomotif pun, telah dimasukan dalam salah satu industri prioritas dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang mulai berlaku pada akhir tahun ini.

Untuk memperkuat posisi daya saing dan sekaligus meningkatkan peran strategis dalam perekonomian nasional, salah satu tantangan terbesar industri otomotif adalah meningkatkan penggunaan komponen lokal. Seperti diakui oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin, peran industri komponen sangat besar untuk memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, industri komponen harus menjadi kekuatan industri otomotif nasional.

"Selain mengurangi ketergantungan terhadap impor, pengembangan industri komponen akan memberikan nilai tambah tinggi bagi perekonomian nasional," katanya.

Untuk meningkatkan peran industri komponen lokal, baru-baru ini Menteri Saleh Husin telah menerbitkan Permen No 34 Tahun 2015 sebagai revisi atau Permen No 59 Tahun 2010 tentang Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih dan Industri Sepeda Motor.

Poin utama dari Permen ini adalah mengurangi penggunaan komponen impor oleh pelaku industri otomotif di dalam negeri, termasuk komponen completely knock down (CKD) agar industri otomotif nasional semakin berkembang dan memiliki multiplier effect bagi industri lainnya.

"Karena itu, industri otomotif kami masukkan sebagai salah satu prioritas dalam Kebijakan Industri Nasional," tegas Menperin.

Untuk memberi peluang tumbuhnya industri komponen, Menteri Perindustrian juga berjanji akan memberikan kemudahan masuknya investor dari luar membangun pabriknya di Indonesia dengan syarat menggalang kemitraan dengan pemain lokal. Bahkan menurut menteri, pihaknya secara khusus meminta investor Jepang untuk menjadikan Indonesia sebagai basis komponen, selain untuk kebutuhan dalam negeri juga untuk ekspor.

"Masih cukup banyak komponen otomotif yang belum diproduksi di Indonesia, padahal beberapa bahan bakunya sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Banyak industri komponen di Thailand dan Jepang, tentu kami minta agar mereka masuk ke Indonesia," kata Menperin.

Sementera itu, melalui rencana revisi kesepakatan Indonesia Jepang Economics Partnership Agreements (IJEPA), Kemenperin juga tengah menyiapkan sejumlah parameter agar Manufacture Industry Developments Center (MIDEC) sebagai bagian dari kesepakatan tersebut bisa lebih efektif untuk mengembangkan industri dalam negeri, termasuk tentunya industri komponen otomotif.

Industri komponen Indonesia 

Dalam sebuah seminar di Kementerian Perindustrian belum lama ini, terungkap bahwa tantangan untuk mengembangkan industri komponen di Indonesia memang cukup berat, antara lain untuk mencapai skala ekonomis. Pasalnya, saat ini total produksi mobil di Indonesia baru mencapai 1,2 juta unit, sementara negara lain seperti Thailand sudah mencapai 2,5 juta unit.

Oleh karena itu, perlu upaya ekstra keras dari pelaku industri yang didukung dari berbagai pihak, termasuk dari pemerintah untuk menghasikan sinergi yang lebih kuat. Selain kerjasama dengan investor dari luar, kerjasama yang kuat antara pelaku industri komponen dengan produsen mobil atau auto maker perlu lebih didorong. Perlu dukungan iklim yang kondusif dari kebijakan pemerintah untuk mendorong kemitraan antara pelaku industri otomotif dengan pelaku industri komponen.

Seperti dikemukakan oleh Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono, untuk membangun strategi pure komponen lokal, joint venture adalah salah satu pilihan terbaik, terutama untuk menumbuhkan industri komponen di tingkat tier II dan III. Kerjasama ini diperlukan pelaku industri tier II dan III yang sebagian besar adalah pelaku industri kelas menengah dan kecil. Kerjasama ini sangat diperlukan agar pelaku tier I dan II mendapat akses kepada perusahaan komponen yang lebih besar atau tier I.

"Tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, cara paling mudah tentu saja dengan joint venture. Industri hulu harus dimulai dengan kerjasa sama dengan para pemegang industri tersebut," katanya.

Menurut Warih, pengalaman TMMIN selama ini yaitu upaya kemitraan yang dilakukan dengan pelaku industri komponen di tier II dan III cukup memberikan dampak terhadap kemampuan mereka untuk memenuhi kualitas standard Toyota. Saat ini, 70 persen dari komponen sebuah kendaraan yang diproduksi TMMIN berasal dari para supplier dan 30 persen sisanya diproduksi sendiri oleh TMMIN.

"Ini menunjukkan bahwa para supplier memiliki peranan penting bagi TMMIN dalam memproduksi kendaraan baik untuk pasar domestik maupun ekspor," ucap Warih.

Oleh karena itu, TMMIN ke depannya akan berupaya meningkatkan dan memperluas kerjasama tersebut, antara lain melalui Toyota Manufacturers Club (TMC). Melalui lembaga ini, TMMIN bisa melakukan transfer knowledge terhadap pelaku industri komponen agar bisa lebih efisien dengan kualitas produk yang bisa diterima oleh standard Toyota.

Menurut Ketua TMC, Willy Junaedi, kemitraan yang dibangun TMMIN dengan pelaku industri komponen memberikan dampak positif yang siginifikan sehingga makin menarik peminat untuk menjadi anggota TMC. Ini terlihat dari jumlah anggota TMC yang terus meningkat dari sejak berdiri pada 1987 lalu. Beberapa tahun lalu, jumlah anggota TMC baru tercatat 25 perusahaan, sekarang sudah mencapai 125 perusahaan.

Menurut Willy, TMC secara periodik menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan skill level para anggota agar bisa menyamai atau hampir mendekati skill level Toyota yang tinggi. "Melalui TM Club ini kita adakan pelatihan-pelatihan supaya skill level SDM supplier bisa terangkat, hingga menyamai atau hampir mendekati skill level SDM di Toyota," tutup Willy.

(gst/sts)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya