Sukses

Fenomena Wisata Kuliner dan Ketertelusuran Halal

Tulisan opini. Konsumen memastikan transparansi informasi produk untuk memastikan integritas halal.

Liputan6.com, Jakarta - “Beli merek itu yuk, sudah pasti enaknya,” demikian saran salah satu teman, sambil menyebutkan sebuah merek terkenal, dalam sebuah perjalanan wisata kuliner. “Eh, ntar dulu…itu udah halal belum, Guys?” respon dari teman yang lain. “Ada kok pernyataaan halalnya, tapi belum pasang logo halal yang resmi itu sih.”

Dialog itu sering muncul ketika memastikan kehalalan produk makanan, khususnya apabila kita sedang bepergian ke tempat baru.

Wisata kuliner saat ini menjadi tujuan wisata sejumlah wisatawan. Sebagai contoh, di Kabupaten Sleman, Provinsi DIY, jumlah kunjungan ke wisata kuliner sebesar 470.592 kunjungan selama kurun waktu 29 April - 8 Mei 2022. Kunjungan tersebut adalah 44,44 persen dari total 1.058.889 kunjungan ke Kabupaten Sleman. Fenomena ini menunjukkan betapa wisata kuliner menjadi salah satu destinasi favorit bagi wisatawan.

Wisata kuliner dapat diartikan dengan bepergian ke suatu daerah atau tempat yang menyajikan makanan khas dalam rangka mendapatkan pengalaman baru terkait kuliner (Hall, M., & Mitchell, R. 2001).

Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2022), kesuksesan kuliner Indonesia dapat membantu meningkatkan minat wisatawan, khususnya wisata mancanegara berkunjung ke Indonesia sebagai destinasi kuliner unggulan. Pemerintah mendukung peningkatan nilai ekonomi di sektor pariwisata, perdagangan dan investasi melalui industri kuliner, di antaranya dengan program “Indonesia Spice Up the World.” Program tersebut merupakan gerakan nasional hingga tahun 2024.

Survei Populix untuk Foodiz Academy memperkirakan tiga tren peminatan kuliner pada 2023, yakni kembali ke selera nusantara atau ke makanan Indonesia, healthy food atau makanan sehat, dan makan di tempat atau dine in. Hal ini menunjukkan adanya potensi atau prospek peminatan wisata kuliner di masa depan.

Terkait kuliner atau makanan halal, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa konsumen kuliner atau makanan halal kini lebih sadar akan integritas status halal dan proses halal di seluruh rantai pasokan produk pangan (Vikaliana, R., 2021). Pada dasarnya, konsep halal bukan hanya dapat diterapkan oleh muslim saja, karena kesadaran halal memiliki keterkaitan dengan kualitas makanan. Isu halal menjadi penting terkait respon potensi risiko pencemaran zat dalam makanan, khususnya zat yang haram.

Penyajian kuliner atau makanan halal tidak terlepas dari aktivitas logistik. Aktivitas logistik meliputi proses penyimpanan, transportasi, dan distribusi produk-produk ke konsumen. Selain aliran barang yakni berupa produk kuliner atau makanan, terdapat pula aliran informasi terkait dan aliran dokumentasi yang melalui entitas bisnis, seperti organisasi perusahaan dan rantai pasokan yang patuh terhadap prinsip-prinsip umum syariah.

Untuk menjamin penerapan halal dalam kegiatan logistik, diperlukan sebuah sistem ketertelusuran halal. Sistem ketertelusuran halal itu bertujuan memberikan transparansi informasi tentang proses pangan dan memungkinkan konsumen untuk menelusurinya. Sistem ketertelusuran mampu mengidentifikasi dan mengungkap masalah yang terjadi di dalam kegiatan logistik. Pada logistik halal, peran ketertelusuran merupakan hal yang krusial.

Maraknya kasus penipuan pada kualitas makanan yang dilaporkan oleh masyarakat terlebih konsumen muslim, membuat konsumen menjadi lebih sadar dan kritis. Konsumen memastikan transparansi informasi produk untuk memastikan integritas halal. Apabila dimungkinkan, konsumen dapat melakukan ketertelusuran hingga ke tingkat pemasok bahan baku produk kuliner atau makanan tersebut. Bila hal ini terjadi, maka tingkat kepercayaan konsumen terhadap produk kuliner atau makanan akan meningkat (Vikaliana, R, 2021).

BPS (2020) mencatat terdapat 1,51 juta unit usaha atau industri skala mikro-kecil (IMK) bergerak di sektor makanan. Kesadaran para IMK kuliner untuk menjamin produk kulinernya bersertifikat halal sangat minim. Hingga saat ini, baru terdapat sekitar 725.000 produk bersertifikat halal yang berasal dari 405.000 IMK. Sedangkan proposi IMK sektor makanan pada tahun 2020 mencapai 36 persen dari seluruh IMK nasional yang berjumlah 4,21 juta unit usaha.

Melalui Undang-undang No. 33 tahun 2014 beserta turunannya, pemerintah membagi tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Pemerintah mewajibkan tiga kelompok produk tersebut sudah bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024. Bila belum memiliki sertifikat halal, maka pelaku usaha akan diberi sanksi.

Terkait isu halal, integritas halal adalah dasar dari kehalalan industri kuliner, termasuk produk makanan hasil produksi dari IMK maupun entitas bisnis yang lebih besar. Setiap aktor atau pelaku kuliner khususnya yang menjadi destinasi wisata kuliner, harus melakukan tindakan protektif dan preventif untuk memastikan produk-produknya tetap halal, meskipun telah menempuh jarak yang jauh dan melalui berbagai kegiatan logistik. Penerapan logistik halal tidak hanya mendukung kehalalan sebuah produk pangan, tetapi juga menjamin kualitas produk pangan.

Ketertelusuran dalam logistik halal dapat mengotentikasi dan mengidentifikasi produk pangan untuk melindungi konsumen, serta membantu meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap keamanan sebuah produk pangan. Apabila ini sudah diterapkan, maka dialog keraguan tentang kehalalan kuliner yang menjadi destinasi wisata kuliner, seperti di awal tulisan ini, tidak akan terjadi lagi.

Penulis: Resista Vikaliana (Dosen Teknik Logistik Universitas Pertamina)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.