Liputan6.com, Jakarta - Di tengah kengerian publik melihat video warga Palestina terbakar hidup-hidup setelah serangan militer Israel di Gaza Utara, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu malah mengkaji rencana menutup bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut. Jika terlaksana, itu dapat menjebak ratusan ribu warga Palestina yang tidak mau atau tidak dapat meninggalkan rumah mereka tanpa makanan maupun air.
Melansir TRT World, Selasa, 15 Oktober 2024, rencana yang diusulkan pada Netanyahu dan parlemen Israel oleh sekelompok pensiunan jenderal akan meningkatkan tekanan, memberi warga Palestina waktu seminggu untuk meninggalkan sepertiga utara Gaza, termasuk Kota Gaza, sebelum mendeklarasikannya sebagai zona militer tertutup.
Baca Juga
Mereka yang tetap tinggal akan dianggap sebagai 'kombatan," yang berarti peraturan militer akan memungkinkan tentara membunuh mereka. Mereka juga tidak akan diberi makanan, air, obat-obatan, serta bahan bakar, menurut salinan rencana yang diberikan pada AP.
Advertisement
Rencana tersebut menyerukan Israel mempertahankan kendali atas wilayah utara untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Ini dilakukan untuk mencoba menciptakan pemerintahan baru tanpa kelompok perlawanan Palestina Hamas, yang akan membelah Gaza jadi dua.
Belum ada keputusan dari pemerintah Israel untuk sepenuhnya melaksanakan apa yang disebut "Rencana Jenderal," dan tidak jelas seberapa kuat hal itu dipertimbangkan. Ketika ditanya apakah perintah evakuasi di Gaza Utara menandai tahap pertama dari "Rencana Jenderal," juru bicara militer Israel Letnan Kolonel Nadav Shoshani membantahnya.
"Kami belum menerima rencana seperti itu," klaim dia. Namun, seorang pejabat mengatakan bahwa bagian-bagian dari rencana ini sudah dilaksanakan, tanpa menyebutkan bagian mana saja.
Â
Bertentangan dengan Hukum Internasional
Seorang pejabat lain mengatakan Netanyahu telah "membaca dan mempelajari" rencana tersebut, "seperti banyak rencana yang telah sampai padanya selama perang. Tapi, ia tidak mengatakan apakah ada yang telah diadopsi. Para pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim, karena rencana tersebut tidak seharusnya dibahas secara terbuka.
Tidak ada truk makanan, air, atau obat-obatan yang memasuki wilayah utara sejak 30 September 2024, menurut PBB dan situs web badan militer Israel yang mengawasi penyeberangan bantuan kemanusiaan. Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa rencana tersebut kemungkinan akan membuat warga sipil kelaparan dan bertentangan dengan hukum internasional, yang melarang penggunaan makanan sebagai senjata dan pemindahan paksa.
Tuduhan bahwa Israel secara sengaja membatasi pasokan makanan ke Gaza jadi inti dari kasus dugaan genosida yang dituduhkan pada mereka di Mahkamah Internasional. Sejauh ini, sangat sedikit warga Palestina yang mematuhi perintah evakuasi terbaru.
Beberapa dari mereka sudah tua, sakit, atau takut meninggalkan rumah mereka. Tapi, banyak yang khawatir tidak ada tempat yang aman untuk dituju dan mereka tidak akan pernah diizinkan kembali.
Israel telah mencegah mereka yang melarikan diri di awal perang untuk kembali. "Semua warga Gaza takut dengan rencana itu," kata Jomana Elkhalili, seorang pekerja bantuan Palestina berusia 26 tahun untuk Oxfam yang tinggal di Kota Gaza bersama keluarganya.
Advertisement
Tidak Berhenti di Gaza Utara
"Tetap saja, mereka tidak akan melarikan diri. Mereka tidak akan membuat kesalahan itu lagi ... Kami tahu di sana tidak aman," imbuhnya, mengacu pada Gaza selatan, tempat sebagian besar penduduknya berdesakan di kamp-kamp tenda yang suram dan serangan udara sering menghantam kamp perlindungan. "Itu sebabnya orang-orang di utara mengatakan lebih baik mati daripada pergi."
Salinan rencana yang dibagikan pada AP mengatakan bahwa jika strategi itu berhasil di Gaza utara, langkah serupa dapat diterapkan di wilayah lain, termasuk kamp tenda di selatan yang menampung ratusan ribu warga Palestina. Sementara itu, setidaknya 21 warga Palestina, termasuk tiga anak-anak, tewas saat Israel mengintensifkan serangan mematikannya di Gaza utara, kata sumber medis.
Sepuluh orang tewas dan lebih dari 40 lainnya terluka pada Senin, 14 Oktober 2024, ketika pasukan Israel menembakkan peluru artileri ke warga sipil yang berkumpul untuk menerima tepung di dekat pusat distribusi makanan di kamp pengungsi Jabalia, kata sumber medis.
Lima orang lagi tewas dan beberapa lainnya terluka dalam serangan pesawat nirawak di dekat Birket Abu Rashid di Jabalia, sementara satu orang lainnya tewas dalam serangan udara di sebuah rumah di jalan Houja di Jabalia, kata sumber lain. Tiga anak juga tewas, dan beberapa lainnya terluka dalam penembakan Israel yang menargetkan sekelompok warga sipil di daerah Safi di sebelah barat Jabalia, sumber tersebut menambahkan.
Korban Serangan Militer Israel
Dua warga Palestina juga tewas dan tujuh lainnya terluka ketika pasukan Israel menembaki sekelompok warga sipil di Jabalia Nazla di Gaza utara, kata sumber medis. Badan Pertahanan Sipil Palestina mengatakan, petugas medisnya memindahkan 13 orang yang terluka setelah serangan pesawat nirawak di sebuah sekolah di Jabalia. Korban juga dilaporkan menyusul serangan udara di dekat Rumah Sakit al-Yemen al-Saeed di Jabalia bagian tengah.
Tentara Israel melancarkan invasi militer di Gaza utara pada 6 Oktober 2024 di tengah pengepungan ketat di daerah tersebut, dengan mengklaim bahwa serangan tersebut bertujuan mencegah Hamas berkumpul kembali di daerah tersebut. Warga Palestina membantah klaim Israel, dengan mengatakan serangan mematikan tersebut bertujuan memaksa mereka meninggalkan daerah tersebut untuk selamanya.
Sepuluh hari setelah serangan tersebut, lebih dari 300 orang tewas di tengah pengepungan ketat yang dilakukan tentara Israel di daerah tersebut, menurut otoritas Palestina. Tentara Israel telah mendirikan barikade untuk mencegah warga Palestina mencapai Kota Gaza dan memaksa mereka melarikan diri ke selatan melalui Jalan Salah al-Din, rute yang ditetapkan Israel sebagai jalur aman dari Gaza utara, kata saksi mata. Mayat-mayat berserakan di jalan-jalan dan di bawah reruntuhan di banyak daerah di Gaza utara, karena ambulans dan tim pertahanan sipil tidak dapat mencapai daerah tersebut, mereka menambahkan.
Advertisement