Sukses

Menangani Kebakaran Hutan dan Lahan Butuh Aksi Nyata, Tidak Semata Suara di Media Sosial

Mencegah maupun menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan upaya kolektif yang melibatkan banyak pihak. Vokal akan isu ini di media sosial, menurut Koordinator Youth Act Kalimantan Sarasi Silverster Sinurat, tidak lagi cukup.

Liputan6.com, Jakarta - Mencegah maupun menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan upaya kolektif yang melibatkan banyak pihak. Vokal akan isu ini di media sosial, menurut Koordinator Youth Act Kalimantan Sarasi Silverster Sinurat, tidak lagi cukup.

Alih-alih semata bersuara di jagat maya, ia mengajak semua pihak, terutama anak-anak muda, turun langsung mengambil bagian dalam aksi lingkungan. "Pergerakan kami sudah dimulai sejak 2014 sampai sekarang," katanya di acara virtual Climate Talk Liputan6 bertajuk "Mitigasi Karhutla di Tengah Perubahan Iklim Global, Di Mana Peran Kita?" pada Jumat, 20 Oktober 2023.

Ia menyambung, "Kami punya tim kecil yang turun hampir setiap hari untuk ikut memadamkan api di lapangan sejak Agustus 2023. Mereka sudah melihat besarnya api saat melahap lahan gambut. Sudah tahu juga efeknya (karhutla)." Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memanfaatkan media sosial.

Melalui akun jejaring digital, pihaknya menyuarakan masalah di Palangkaraya dan Kalimantan secara general. "Kami soroti semua permasalahan di masyarakat, termasuk karhutla," ujar dia. "Sekarang, media sosial jadi salah satu kunci berbagi banyak hal."

"Edukasi dan advokasi kami berikan di sana (media sosial)," imbuhnya. Diakui Sarasi, isu lingkungan merupakan masalah kompleks yang sayangnya belum jadi problem utama bagi masyarakat. "Karena ada masalah pendidikan, ekonomi, dan kesehatan," ia mengatakan.

Menurutnya, ketidakpastian jadi alasan kepedulian anak muda terhadap isu lingkungan, termasuk karhutla, tidak berujung pada aksi. "Mereka sebenarnya tahu (ada masalah karhutla), tapi di sisi lain, mereka juga tahu (bahwa) apapun yang mereka lakukan, itu sulit berdampak pada masyarakat."

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Cara Mengedukasi Masyarakat

"Maksudnya," Sarasi melanjutkan, "Sekarang kami memadamkan api, tapi beberapa bulan lagi, kami lihat itu (bekas lokasi karhutla) jadi bangunan-bangunan besar. Ujung-ujungnya akan jadi perusahaan, dan mereka akan mulai menghasut masyarakat."

Perspektif pesimis ini dilawan Youth Act Kalimantan dengan terus terbuka pada siapapun yang ingin bergabung, selain juga meneruskan edukasi, sedikit demi sedikit. Sasaran edukasi ini tidak hanya anak muda, melainkan masyarakat secara umum.

Dalam mengedukasi masyarakat, kata Sarasi, pihaknya melakukan pendekatan persuasif. "Salah satunya kami punya program memfasilitasi bibit pohon buah secara gratis. Jadi sambil menanam, kami berbincang, sekaligus kasih edukasi mengapa penting menanam pohon, mengapa penting jangan membakar hutan dan lahan," sebut dia.

"Sekarang, kami sudah menanam lebih dari 10 ribu pohon buah, dan lebih dari 70 persen di antaranya ditanam di lahan masyarakat." ujar Sarasi. "Jadi sambil mengedukasi, kami juga mendengarkan apa yang mereka butuhkan, jadi tahu bisa membantu apa."

Ia kembali menegaskan bahwa sekarang adalah waktunya bergerak mengambil bagian dalam aksi lingkungan. "Bisa mulai dari diri sendiri. Masalah enggak akan selesai kalau cuma dari omongan. Masalah karhutla dan perubahan iklim adalah permasalahan global, makanya harus sama-sama bergerak," tegasnya.

3 dari 4 halaman

Biang Kerok Karhutla

Edukasi publik, menurut Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, sangat penting. Pasalnya, pihaknya yakin 99,99 persen bahwa karhutla disebabkan manusia.

"Ada (orang) yang iseng, ada juga yang sengaja bakar hutan dan lahan untuk keuntungan finansial. Sebagaimana kita tahu, buka lahan dengan cara membakar itu jauh lebih murah," tuturnya di kesempatan yang sama. "Selain, El Nino juga memperburuk dampak karhutla."

Ia melanjutkan, "Pemerintah telah melakukan berbagai upaya, termasuk pencegahan, penguatan patroli, penegakan hukum secara tegas, baik melalui sanksi administratif maupun gugatan pengadilan, memperbaiki ekosistem gambut dan ekosistem terkait, dan yang terbaru, kami mulai memodifikasi cuaca."

Dengan terus konsisten menjalani langkah-langkah tersebut, pihaknya berharap angka hot spot dan luas area terbakar akan terus turun. "Kerugian karhutla ini banyak sekali, dan tidak hanya dihitung secara ekonomi. Kebakaran menyebabkan terancam, bahkan hilangnya keanekaragaman hayati. Belum lagi bicara dampak kesehatan," sebut Rasio.

Berdasarkan data yang mereka himpun, kasus karhutla tahun ini turun dibandingkan 2019, yang juga dipengaruhi el nino. "Tahun 2019," Rasio berkata. "Ada 26.636 hot spot dan 1,6 juta hekatare lahan terbakar. Tahun ini, hot spot 9.018 hot spot, sementara luas area terbakarnya 642 ribu hektare."

4 dari 4 halaman

Saling Belajar Bersama Australia

Faktanya, karhutla tidak hanya terjadi di Indonesia. Peristiwa nahas itu juga tercatat di Australia. Principal Research Scientist CSIRO, Dr. Daniel Mendham, berkata, dibanding Indonesia, lahan gambut di Australia memang lebih sedikit. Namun, bukan berarti risiko karhutla tidak ada.

"Apalagi, vegetasi di lahan gambut di Australia tumbuh subur dalam tiga tahun terakhir. Itu bisa jadi bahan bakar bila karhutla terjadi," kata dia, juga di acara Climate Talk Liputan6. "Selain, saya juga setuju bahwa manusia adalah penyebab 'penting' terjadinya karhutla. El Nino pun berdampak besar meningkatkan risiko karhutla."

Sampai saat ini, pihaknya masih mencari formulasi terbaik untuk merespons karhutla dan perubahan iklim. "Ada tiga pencegahan utama. Pertama, mengurangi 'bahan bakar' di wilayah rentan karhutla. Lalu, mengadakan sistem peringkat bahaya kebakaran pada masyarakat, supaya mereka tahu bagaimana merespons kejadian ini," paparnya.

Terakhir, ia menyarankan untuk memperingatkan masyarakat tentang risiko karhutla dan mendorong mereka peduli terhadap peringatan yang ada. "Australia punya teknologi deteksi asap dan kebakaran berbasis AI yang sekarang baru dioperasikan di bagian selatan (negara itu)," ucapnya.

Indonesia dan Australia, menurutnya, bisa saling belajar dalam mencegah dan mengatasi karhutla. "Sekarang, kami tengah menyediakan 'alat' yang penting bagi petani di Riau (salah satu wilayah langganan karhutla), karena mereka hanya memiliki sedikit pilihan untuk menggarap lahan, termasuk dengan membakarnya," tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.