Sukses

Kriss Hatta Dituduh Pedofil, Pahami Istilah Itu Menurut Psikologi

Kriss Hatta dituduh pedofil karena mengaku pacaran dengan anak di bawah umur.

Liputan6.com, Jakarta - Kriss Hatta mendadak berada di tengah lampu sorot atensi publik. Alih-alih prestasi membanggakan, ia ramai diberondong kritikan karena diketahui menjalin hubungan asmara dengan gadis di bawah umur. Pacarnya itu dilaporkan berusia 14 tahun, membuat jarak usia keduanya mencapai 20 tahun, lapor Kapanlagi.com.

Karena hal ini pula, tidak sedikit yang menuding Kriss sebagai pedofil. Apa arti istilah itu sebenarnya dari kacamata psikologi? Melansir Psychology Today, Rabu (28/9/2022), pedofil adalah individu yang secara khusus atau semata-mata tertarik secara seksual pada anak-anak pra-remaja.

Ada klasifikasi berbeda untuk menyebut ketertarikan pada anak-anak, tergantung pada tahap perkembangan ketertarikan tersebut secara seksual, menurut The Conversation. Mereka yang menemukan anak-anak di puncak pubertas menarik secara seksual dikenal sebagai "hebephiles."

"Efebofil" adalah individu yang tertarik secara seksual pada anak-anak yang telah mencapai pubertas. Yang harus digarisbawahi, publikasi itu melanjutkan, tidak semua pedofil adalah pelaku seks anak, dan sebaliknya.

Beberapa orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak sama sekali tidak tertarik pada anak-anak.  Pelecehan adalah masalah peluang, yakni anak jadi pengganti seksual untuk orang dewasa yang tidak tersedia atau pelecehan mewakili kebutuhan mendominasi dan mengendalikan manusia lain.

Gangguan pedofilia dapat didiagnosa pada orang yang bersedia mengungkap parafilia tersebut, serta pada orang yang menyangkal ketertarikan seksual pada anak-anak, tapi menunjukkan bukti objektif pedofilia. Seseorang harus bertindak berdasarkan dorongan seksual mereka atau mengalami tekanan yang signifikan atau kesulitan interpersonal sebagai akibat dari dorongan atau fantasi mereka.

Tanpa dua kriteria ini, seseorang mungkin memiliki hasrat seksual pedofilia, tapi bukan gangguan pedofilia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Diagnosa yang Susah

Prevalensi gangguan pedofilia tidak diketahui, karena stigma sosial di sekitarnya tidak mengundang orang untuk mengidentifikasi diri. Perkiraan prevalensinya berkisar dari satu hingga lima persen dari populasi pria. Diyakini hanya sebagian kecil dari wanita, jika ada, yang mengalami pedofilia.

Selain itu, diagnosa gangguan pedofilia harus menentukan apakah individu secara eksklusif tertarik pada anak-anak atau tidak, jenis kelamin yang membuat individu tertarik, dan apakah dorongan seksual terbatas pada anak-anak dalam keluarga orang tersebut.

Ada sejumlah tantangan untuk mendiagnosa pedofilia. Orang yang memiliki kondisi ini jarang mencari bantuan secara sukarela, yang mana konseling dan pengobatan sering kali datang sebagai akibat dari kasus hukum.

Gangguan pedofilia sendiri telah diklasifikasikan sebagai diagnosa psikiatri di bawah DSM-5 sejak 1968 di Amerika Serikat. Ini bukan pilihan yang dibuat orang secara sadar.

Parafilia, sebagai sebuah kelompok, memiliki tingkat komorbiditas yang tinggi satu sama lain dan tingkat komorbiditas yang sama tinggi dengan kecemasan, depresi berat atau gangguan mood, dan gangguan penyalahgunaan zat.

3 dari 4 halaman

Penyebab Pedofilia

Penyebab pedofilia belum diketahui secara pasti. Model fisiologis sedang menyelidiki hubungan potensial antara hormon dan perilaku, khususnya peran agresi dan hormon seksual pria. Penelitian awal sedang dilakukan untuk mengeksplorasi kemungkinan penyebab neurologis.

Ada beberapa bukti bahwa pedofilia dapat diturunkan dalam keluarga, meski tidak jelas apakah ini berasal dari genetika atau perilaku yang dipelajari. Riwayat pelecehan seksual pada masa kanak-kanak merupakan faktor potensial lain dalam perkembangan pedofilia, meski hal ini belum terbukti.

Model pembelajaran perilaku menunjukkan bahwa seorang anak yang jadi korban atau pengamat dari perilaku seksual yang tidak pantas dapat dikondisikan untuk meniru perilaku yang sama. Orang-orang ini, yang kehilangan kontak sosial dan seksual yang normal, mungkin mencari kepuasan melalui cara-cara yang kurang dapat diterima secara sosial.

Pedofilia mungkin merupakan kondisi seumur hidup, tapi gangguan pedofilia mencakup unsur-unsur yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Ini termasuk kesusahan, gangguan psikososial, dan kecenderungan individu untuk bertindak berdasarkan dorongan.

4 dari 4 halaman

Pengobatan

Pengobatan gangguan pedofilia dapat mencakup terapi perilaku dan obat-obatan. Perawatan ini dapat mengurangi dorongan dan kemungkinan bertindak, tapi kondisi tersebut paling sering merupakan kondisi seumur hidup.

Terapi kognitif termasuk restrukturisasi distorsi kognitif dan pelatihan empati. Restrukturisasi distorsi kognitif melibatkan mengoreksi pikiran pedofil bahwa anak ingin terlibat dalam kegiatan tersebut. Pelatihan empati melibatkan membantu pelaku mengambil perspektif korban dan memahami kerugian yang mereka timbulkan.

Pendekatan pengkondisian positif berpusat pada pelatihan keterampilan sosial dan alternatif, perilaku yang lebih tepat. Rekondisi, misalnya, melibatkan pemberian umpan balik langsung pada pasien, yang dapat membantunya mengubah perilakunya.

Sementara pengobatan dapat membantu pedofil menolak bertindak atas ketertarikan mereka pada anak-anak, banyak yang tidak mencari bantuan klinis. Prognosis untuk mengurangi hasrat pedofilia sulit ditentukan, karena fantasi seksual yang sudah berlangsung lama tentang anak-anak dapat sulit diubah.

Praktisi dapat membantu mengurangi intensitas fantasi dan membantu pasien mengembangkan strategi koping. Psikoterapi dinamis, teknik perilaku, dan pendekatan farmasi semuanya menawarkan bantuan, tapi perawatan seumur hidup mungkin merupakan pendekatan yang paling pragmatis dan realistis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.