Sukses

Cerita Benci Jadi Cinta Pendiri Jaga Wastra pada Kain Tradisional Indonesia

Sang pecinta kain tradisi Indonesia merasa kualat. Dari awalnya menolak, ia kini rela blusukan ke pedalaman demi kain.

Liputan6.com, Jakarta - "Menurut saya dulu, batik itu kampungan. Saya dulu lihat ibu saya menyusui adik saya pakai batik. Jadi saya menganggap, batik itu sama seperti daster."

Sepenggal kalimat tersebut adalah ungkapan dari seorang wanita pada saat gelar wicara Jakarta Fashion Week 2020 'Mencintai Kain Tradisional Indonesia' yang dilaksanakan Rabu, 23 Oktober 2019. Wanita tersebut merupakan pegiat pelestarian budaya Indonesia yang dulunya tak suka dengan kain tradisional.

Kain tradisional merupakan salah satu warisan nusantara yang memiliki daya pikat tersendiri. Bahkan, mereka bisa membuat orang yang awalnya tidak suka, menjadi tergila-gila.

Hal ini yang terjadi dengan Neneng Rahardja. Datang sebagai tamu undangan pada gelar wicara tersebut, dia mendapat kesempatan untuk menceritakan pengalamannya mengenai kecintaannya pada kain tradisional, terutama tenun Dayak.

Diketahui sebagai pendiri Jaga Wastra, sebuah komunitas pegiat pelestarian budaya Indonesia dan penyedia kain tradisional, ternyata Neneng dulunya dapat dikatakan benci dengan kain nusantara yang jarang diperhatikan.

"Jangankan batik, saya nggak suka bahan-bahan (kain) Indonesia, sorry. Jadi, dulu saya sangat sombong dan hanya pakai merek-merek global dari kepala sampai kaki," tuturnya.

Kecintaannya bermula sejak dua tahun lalu, secara tidak sengaja. Dia mengatakan bahwa dia mulai tahu beragam kain nusantara dari rekan bisnisnya yang bekerja di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Kebetulan, rekannya tersebut bekerja sebagai tenaga medis di sana.

Masih termasuk daerah yang terpencil, temannya tersebut mendapatkan bayaran dari riset-riset yang telah dia lakukan dengan kain tenun Dayak. Karenanya, dia memiliki cukup banyak kain tenun tersebut.

Merasa memiliki banyak kain yang tak terpakai, rekannya tersebut membagikan kain tradisional itu ke Neneng. Meskipun Neneng sudah menjawab dia tidak menyukai kain, temannya tersebut meminta tolong agar Neneng bisa mengolah kain tersebut agar lebih bermanfaat.

Akhirnya, dia mengambil kain tersebut dan meletakkan di rumahnya. Seolah ada magnet yang menariknya, kain yang awalnya hanya digeletakkan, membuat Neneng penasaran. Dia bahkan sampai menyebut mungkin dirinya kualat karena terlalu sombong dan tidak mau memakai kain tradisional.

"Itu di drop aja di rumah saya. Malam-malam, saya tengok-tengok di depan kaca. Saya untel-untel, saya ikat-ikat, terus lucu juga ya ternyata bisa digonoin, diginiin," jelasnya lagi.

Dari situ, dia mulai membentuk Jaga Wastra dan mencari tahu lebih dalam mengenai tenun Dayak. Dia bahkan rela untuk pergi ke pedalaman tersebut yang harus menempuh perjalanan hingga tujuh jam dari Pontianak.

Menganggap kain tenun dari Kalimantan tersebut jarang diperhatikan, hingga kini Jaga Wastra tetap mencoba memperkenalkannya melalui sosial media mereka. Mereka juga menyediakan penjualan bagi yang tertarik.

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Memadankan dengan Kain Tradisional Lain

Tidak hanya berfokus pada tenun Dayak, dia juga mulai merambah ke kain langka lainnya. Guna mengenalkan dengan lebih dekat dengan orang sekitar, Neneng gemar mengenakan pakaian dari kain-kain tersebut.

Contohnya saat talkshow tersebut, dia terlihat mengenakan gaun bermotif Batik Masin dari Pekalongan. Dia mengenakan batik tersebut karena menurut informasi yang ada, batik tulis ini hanya dibuat oleh wanita yang menjadi tulang punggung keluarga. Ironisnya, pembatik motif ini hanya tinggal enam orang.

"Sekarang ini, terus terang hampir tiap hari saya bawa Batik Masin ini. Terserah deh mau saya untel-untel, pokoknya orang lihat kalau ini Batik Masin, pengrajinnya udah tinggal enam," ujar Neneng lagi.

Dalam penampilannya, dia tak hanya menggunakan satu jenis kain. Dia kerap memadankannya dengan kain lainnya. Pada gaun batik yang dikenakan itu, dia juga menambahkan kain tenun Dayak Iban yang dia ikat menjadi ikat pinggang.

Tak sampai di situ, pada sepatu heels yang dia gunakan, dia berkolaborasi dengan desainer muda Christina Wu. Sepatu tersebut dibuat khusus menggunakan motif tenun Dayak Sintang.

Penampilannya tersebut juga dipuji oleh Monique Hardjoko dari Komunitas Perempuan Pelestari Budaya Indonesia dan seorang pecinta wastra nusantara. Dia mengatakan perpaduan tersebut dapat menghilangkan kesan kain tradisional itu kuno dan tua.

"Bisa kelihatan bagaimana wastra yang chic dan modern dan akhirnya buat anak-anak muda gak terkesan ibu-ibu atau tua lagi," kata Monique di talkshow yang sama.

Neneng juga berharap, prestise kain tradisional dapat terangkat bahkan sejajar dengan brand internasional. Bahkan, jika kita memadankan keduanya, hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang unik dan otentik.

"Banyak brand-brand global, saya juga pencinta itu. Tetap saya tidak meninggalkan brand-brand global, jadi sekarang saya mensejajarkan. Kita boleh menenteng merk global itu, tapi dipadupadankan dengan identitas kita. Jadi, dunia manapun lihat, gak ada yang kayak gini," pungkas Neneng. (Novi Thedora)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.