Sukses

Adat Jawa Tengah dan Tradisinya, Jadi Warisan Generasi Muda

Adat Jawa sangat kaya akan seni dan budaya, termasuk seni tari, musik gamelan, wayang kulit, batik, dan berbagai upacara adat.

Liputan6.com, Jakarta Suku Jawa adalah kelompok etnis terbesar di Indonesia yang tinggal di pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Adat Jawa mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari tata cara kehidupan sehari-hari, upacara adat, seni, dan budaya hingga filosofi hidup yang dipraktikkan dalam masyarakat.

Adat Jawa kaya akan budaya dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi-tradisi ini mencakup upacara kelahiran, pernikahan, dan kematian yang dilakukan dengan cara-cara khusus yang telah ditentukan sejak lama. Contoh tradisi tersebut adalah wetonan (perayaan hari kelahiran setiap 35 hari sekali), tingkeban (upacara tujuh bulan kehamilan), dan brobosan (upacara kematian).

Adat Jawa adalah cerminan dari kekayaan budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jawa. Meskipun modernisasi dan perubahan zaman terus terjadi, banyak dari tradisi dan adat ini tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Adat Jawa tidak hanya memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi fondasi penting dalam menjaga keharmonisan dan kedamaian dalam komunitas.

Berikut ini tradisi dan adat Jawa Tengah yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (29/5/2024). 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sekilas Tentang Suku Jawa

Indonesia kaya akan budaya dan tradisi, termasuk di dalamnya adalah Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan tradisi yang luar biasa banyak dan beragam, yang hingga kini masih lestari dan dijaga dengan baik oleh masyarakatnya. Tradisi-tradisi di Jawa Tengah mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari peristiwa kelahiran, upacara pernikahan, hingga ritual kematian. Tradisi ini bukan hanya sekedar seremonial, tetapi merupakan bagian integral dari kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Keberlanjutan dan kelestarian tradisi-tradisi ini sangat bergantung pada partisipasi aktif masyarakat setempat. Tradisi akan terus berjalan dan tetap lestari, jika masyarakatnya terus melaksanakan dan menghidupi upacara-upacara tradisi tersebut. Oleh karena itu, penting bagi setiap generasi untuk memahami, menghormati dan melestarikan tradisi-tradisi ini agar nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya tetap hidup, dan bisa diwariskan kepada generasi yang akan datang. 

Berikut ini asal-usul suku jawa menurut beberapa pandangan diantaranya: 

Teori mengenai asal-usul suku Jawa pertama kali dikemukakan oleh para arkeolog. Mereka berpendapat bahwa nenek moyang suku Jawa adalah penduduk pribumi yang telah tinggal di pulau ini jutaan tahun yang lalu. Berdasarkan berbagai penelitian, arkeolog menemukan fosil manusia purba seperti Pithecanthropus Erectus dan Homo Erectus yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Jawa. Fosil tersebut kemudian dilakukan tes DNA dan dibandingkan dengan DNA suku Jawa masa kini. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Temuan ini memperkuat keyakinan para arkeolog bahwa manusia purba tersebut adalah asal-usul keberadaan suku Jawa.

Berbeda dengan pandangan arkeolog, sejarawan memiliki teori yang berbeda mengenai asal-usul suku Jawa. Mereka meyakini bahwa nenek moyang suku Jawa berasal dari orang-orang Yunan di China. Teori ini pertama kali diungkapkan oleh sejarawan Belanda, Prof. Dr. H. Kern, pada tahun 1899. Kern menyebutkan bahwa bahasa daerah di Indonesia memiliki kemiripan satu sama lain dan berakar dari rumpun yang sama, yaitu Austronesia. Kesimpulan ini diambil berdasarkan kemiripan linguistik yang menunjukkan bahwa suku Jawa dan suku-suku lain di Indonesia berasal dari nenek moyang yang sama dari rumpun Austronesia.

3. Babad Tanah Jawa

Sumber lain mengenai asal-usul suku Jawa berasal dari Babad Tanah Jawa. Dalam babad ini, diceritakan bahwa masyarakat Jawa berasal dari Kerajaan Keling atau Kalingga di India Selatan. Seorang pangeran dari Kerajaan Keling, yang tersisih akibat perebutan kekuasaan, pergi meninggalkan kerajaannya bersama para pengikutnya. Pangeran tersebut akhirnya menemukan sebuah pulau kecil yang belum berpenghuni dan bersama pengikutnya, mereka membangun pemukiman di sana. Pulau ini kemudian diberi nama Javacekwara. Keturunan pangeran dan pengikutnya inilah yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang suku Jawa.

4. Surat Kuno Keraton Malang

Surat kuno dari Keraton Malang memberikan versi lain mengenai asal-usul penduduk Jawa. Surat ini menyebutkan bahwa penduduk Jawa berasal dari Kerajaan Turki pada tahun 450 SM. Raja Turki mengirim rakyatnya untuk mengembara dan membangun daerah kekuasaan di wilayah yang belum berpenghuni. Setelah menemukan tanah yang subur dengan aneka bahan pangan, semakin banyak migrasi yang datang ke pulau ini. Pulau tersebut kemudian diberi nama Tanah Jawi karena banyaknya tanaman jawi di sana. Versi ini menambahkan perspektif lain tentang asal-usul suku Jawa.

5. Tulisan Kuno India

Tulisan kuno dari India memberikan teori bahwa pada zaman dahulu, beberapa pulau di kepulauan Nusantara menyatu dengan daratan Asia dan Australia. Hingga terjadi musibah yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut, memisahkan pulau-pulau tersebut dari daratan utama dan memunculkan pulau-pulau baru seperti Pulau Jawa. Menurut tulisan ini, Aji Saka adalah orang pertama yang menemukan dan menginjakkan kakinya di tanah Jawa. Aji Saka beserta para pengawal dan pengikutnya dianggap sebagai nenek moyang suku Jawa, memberikan cerita tambahan tentang asal-usul suku ini.

3 dari 4 halaman

Budaya Jawa Tengah

Jawa Tengah memiliki budaya yang sangat erat kaitannya dengan budaya Jawa atau Kejawen. Pusat kebudayaan di provinsi ini adalah Keraton Surakarta, yang menjadi tempat utama penyelenggaraan berbagai pagelaran seni dan budaya. Keraton Surakarta berfungsi sebagai pusat tradisi yang memainkan peran penting dalam mempertahankan dan mempromosikan budaya Jawa Tengah. Secara garis besar, budaya Jawa Tengah terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu budaya Jawa Banyumasan dan Jawa Pesisiran. Kebudayaan Jawa Banyumasan merupakan hasil perpaduan budaya Jawa, Cirebon, dan Sunda. Ini menciptakan campuran unik yang mencerminkan karakteristik ketiga budaya tersebut. Di sisi lain, budaya Jawa Pesisiran terbentuk dari perpaduan budaya Jawa dan pengaruh Islam, menciptakan identitas budaya yang kaya dan beragam.

Meski terbagi menjadi dua jenis, budaya Jawa Tengah memiliki banyak kesamaan dengan budaya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Timur. Kesamaan ini terlihat dalam bahasa, kebiasaan masyarakat, norma, dan dialek. Pakaian adat yang dikenakan di tiga daerah ini juga menunjukkan kemiripan, saling mempengaruhi satu sama lain. Jawa Tengah dikenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang masyarakatnya teguh menjaga warisan leluhur. Tradisi yang telah berlangsung lama ini dijaga dan diselaraskan dengan kemajuan zaman. Bahkan, penduduk Jawa Tengah memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memperkenalkan budaya mereka ke dunia luar. Salah satu contohnya adalah batik.

Batik khas Jawa Tengah merupakan salah satu jenis batik yang paling sering ditampilkan ke khalayak publik, meskipun banyak daerah lain di Indonesia yang juga memiliki batik khas mereka sendiri. Batik Jawa Tengah dikenal karena motif dan teknik pembuatannya yang khas, mencerminkan keindahan dan keragaman budaya Jawa. Terkait dengan etnis, tidak dapat dipungkiri bahwa suku Jawa merupakan kelompok etnis terbesar di Indonesia. Pada masa lalu, banyak pusat kejayaan Jawa yang terletak di Jawa Tengah, seperti Kerajaan Mataram, baik Mataram Hindu maupun Mataram Islam. Kedua kerajaan besar ini memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan budaya di Jawa Tengah. Oleh karena itu, budaya Jawa, khususnya Jawa Tengah, banyak menginspirasi daerah-daerah lain di Indonesia dalam berbagai aspek budaya, termasuk pakaian adat.

 

4 dari 4 halaman

Tradisi Adat Jawa Tengah

 1. Tradisi Wetonan

Tradisi wetonan merupakan salah satu warisan budaya yang dilaksanakan oleh masyarakat suku Jawa Tengah. Wetonan berasal dari kata "weton" yang dalam bahasa Jawa berarti hari kelahiran. Upacara ini biasanya diadakan ketika seorang bayi berusia 35 hari, yang merupakan penanda penting dalam kehidupan bayi tersebut. Pada hari ke-35 setelah kelahiran, keluarga bayi mengadakan upacara yang disebut "nyelapani". Istilah "nyelapani" berasal dari kata "selapan" yang berarti satu bulan dalam perhitungan kalender Jawa, yaitu 35 hari. Perhitungan weton menggunakan kombinasi antara hari-hari dalam kalender Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan pasaran Jawa (Wage, Pon, Kliwon, Legi, Pahing). Kombinasi ini menghasilkan hari-hari seperti Senin Pon, Selasa Wage, Rabu Kliwon, Kamis Legi, dan seterusnya, yang berulang setiap 35 hari.

2. Tradisi Sadran

Sadranan atau Sadran adalah tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa Tengah, sebagai reminiscensi dari upacara Sraddha Hindu yang dilaksanakan pada zaman dahulu. Upacara ini diadakan pada bulan Jawa Islam Ruwah, sebelum bulan puasa atau Ramadan dalam kalender Hijriyah. Selama upacara Sadran, masyarakat melakukan ziarah kubur, membersihkan makam, dan menabur bunga, yang dikenal dengan istilah "nyekar". Tradisi Sadran bukan hanya diikuti oleh umat Islam, tetapi juga oleh penganut agama lain, menunjukkan inklusivitas budaya Jawa. Upacara ini menjadi momen penting bagi masyarakat untuk menghormati leluhur dan mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Biasanya, Sadran dilakukan pada tanggal 15, 20, atau 23 Ruwah. Setiap daerah di Jawa Tengah memiliki ciri khas tersendiri dalam merayakan tradisi ini.

3. Upacara Ruwatan

Ruwatan adalah ritual penyucian yang masih dilakukan oleh masyarakat suku Jawa dan Bali hingga saat ini. Kata "ruwat" dalam bahasa Jawa berarti "dibebaskan" atau "dilepaskan". Upacara ini bertujuan untuk membebaskan seseorang dari hukuman atau kutukan yang diyakini dapat menimbulkan marabahaya. Makna dari upacara Ruwatan adalah memohon perlindungan agar orang yang diruwat terhindar dari segala macam bahaya. Upacara ini biasanya dilaksanakan dengan harapan untuk melindungi manusia dari bahaya di sekitarnya. Hingga kini, upacara Ruwatan tetap dipercaya dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dan Bali karena dianggap berpengaruh pada keselamatan seseorang.

4. Tradisi Syawalan

Syawalan adalah tradisi yang dilaksanakan pada bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah, setelah bulan Ramadan. Tradisi ini dikenal juga sebagai halal bi halal, di mana masyarakat bertemu dan bersilaturahmi, saling memaafkan satu sama lain, serta memulai kehidupan baru dengan harapan lebih baik dan tenteram. Pertemuan Syawalan biasanya diadakan dengan mengunjungi rumah kerabat, tetangga, dan teman untuk meminta maaf dan mempererat hubungan sosial. Tradisi ini menunjukkan pentingnya menjaga harmoni dan kerukunan dalam masyarakat.

5. Tradisi Popokan

Tradisi Popokan berawal dari cerita tentang seekor harimau yang mengusik masyarakat Desa Sendang di Jawa Tengah. Masyarakat mencoba mengusir harimau tersebut dengan berbagai cara dan senjata, tetapi gagal. Seorang pemuka agama kemudian menyarankan agar masyarakat tidak menggunakan kekerasan. Akhirnya, mereka melempari harimau tersebut dengan lumpur sawah, dan harimau itu pun pergi. Sejak saat itu, tradisi Popokan, yaitu saling melempar lumpur sawah, dilakukan untuk menjauhkan kejahatan dan menolak bala. Tradisi ini juga menjadi wujud rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas keselamatan yang diberikan. Lumpur yang dilemparkan dianggap membawa berkah, sehingga masyarakat merasa senang meskipun terkena lemparan.

6. Upacara Tingkeban

Upacara Tingkeban adalah tradisi Jawa Tengah untuk memperingati tujuh bulan kehamilan. Tingkeban merupakan upacara terakhir sebelum masa kelahiran. Tujuan dari upacara ini adalah mendoakan ibu hamil dan calon bayi agar sehat dan selamat hingga hari kelahiran. Upacara Tingkeban dilakukan sebagai sarana berdoa untuk kesehatan dan keselamatan jabang bayi yang masih dalam kandungan. Masyarakat Jawa percaya bahwa upacara ini penting untuk menghindarkan ibu dan anak dari marabahaya. Selain itu, upacara ini juga merupakan wujud solidaritas primordial yang berkaitan dengan adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun.

7. Tradisi Brobosan

Brobosan adalah tradisi yang dilakukan pada upacara kematian. Kata "brobosan" berarti menerobos, yaitu berjalan secara bergantian di bawah peti mati atau keranda jenazah yang sedang diangkat tinggi. Proses ini dimulai dari sebelah kanan, bergerak ke kiri, depan, dan kembali ke sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tradisi Brobosan dimaksudkan agar keluarga dan orang-orang yang ditinggalkan dapat melewati masa kesedihan dengan lebih ikhlas. Anggota keluarga melaksanakan ritual ini sebagai simbol perpisahan terakhir sebelum jenazah dikebumikan. Tujuannya adalah untuk memberikan penghormatan terakhir dan mendoakan keselamatan mendiang di alam selanjutnya. Selain itu, Brobosan juga menjadi cara untuk menghormati leluhur yang telah meninggal dunia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.