Sukses

Yang Fana adalah Waktu, Sapardi Djoko Damono Abadi

Peran Sapardi Djoko Damono bagi kehidupan sastra Indonesia sangatlah besar. Karya-karyanya pun seakan tak ditelan zaman meski kini dirinya telah tiada

Liputan6.com, Jakarta Dunia seni Indonesia kembali berduka. Sastrawan Sapardi Djoko Damono tutup usia pada Minggu, 19 Juli 2020 pagi. Ia meninggal di usia 80 tahun.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Telah meninggal dunia sastrawan besar Indonesia, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan pada hari ini 19 Juli 2020, pukul 09.17 WIB," tulis pesan singkat dikutip yang diterima oleh Antara.

Dilaporkan oleh News Liputan6.com, Sapardi Djoko Damono telah dirawat di rumah sakit sejak Kamis, 9 Juli 2020 lalu.

Sutradara Komunitas Teater Keliling Rudolf Puspa melalui Twitternya pada 10 Juli yang lalu mengatakan bahwa ia dirawat karena kerja organ tubuhnya yang sudah menurun.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Luangkan Waktu untuk Menulis

Dalam sebuah wawancara diunggah di akun Youtube Antara News pada 2018 lalu, Sapardi bercerita bahwa dirinya selalu meluangkan waktu untuk menulis, termasuk saat dirinya bekerja sebagai dekan perguruan tinggi.

"Saya selalu datang pagi-pagi, jam 7," ujarnya kala itu. "Kan ada komputer, saya ketik nulis. Bukan menulis pekerjaan kantor, tidak mau, saya menulis puisi, nulis cerita pendek," kata Sapardi.

Ia mengakui bahwa dirinya juga sering menulis saat berada di pesawat atau kereta. "Saya ke belakang (kamar mandi), saya catat juga," katanya.

Berdasarkan laman Ensiklopedia Sastra Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pria yang lahir di Solo, Jawa Tengah ini memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Kraton "Kasatriyan", Baluwarti, Solo kemudian dilanjutkan di SMP Negeri II Solo.

 

3 dari 5 halaman

Peran Penting dalam Sastra Indonesia

Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta jurusan sastra Inggris dan pernah memperdalam pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat tahun 1970 hingga 1971.

Dengan disertasinya yang berjudul "Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur" Sapardi memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra di tahun 1989. Ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1995.

Secara singkat, Sapardi pernah bekerja sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi di Indonesia serita berkontribusi pada berbagai kegiatan pengembangan sastra di tanah air. Ia juga memperoleh berbagai penghargaan serta sering terlibat dalam berbagai pertemuan internasional.

Dalam laman Ensiklopedia Kemendikud, peran Sapardi dalam kehidupan sastra Indonesia sangatlah penting. A Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989) menyatakan bahwa Sapardi adalah cendekiawan muda yang mulai menuls sekitar tahun 1960.

"Ada perkembangan yang jelas terlihat dalam puisi Sapardi, terutama dalam hal susunan formal puisi-puisinya. Oleh sebab itu, sudah barang tentu sangat perlu mengikuti jejak Sapardi dalam tahun-tahun mendatang," tulis laman tersebut.

 

4 dari 5 halaman

Rendah Hati

Sapardi disebut sebagai penyair yang orisinil dan kreatif. Meski dianggap sebagai "petunjuk tentang perkembangan-perkembangan mendatang" Sapardi tetaplah rendah hati.

Pada Maret 2018 yang lalu, sastrawan kelahiran 20 Maret 1940 ini merilis novel "Yang Fana Adalah Waktu" yang merupakan bagian terakhir dari trilogi "Hujan Bulan Juni."

Dikutip dari Antara, "Hujan Bulan Juni" yang rilis di 2015 melibatkan tokoh utama yaitu Pingkan dan Sarwono. Novel ini lalu dilanjutkan dengan "Pingkan Melipat Jarak" pada Maret 2017.

Dalam "Yang Fana Adalah Waktu" pembaca mendapatkan tambahan buku tipis berjudul "Sajak-Sajak untuk Pingkan" karya Raden Sarwono Hadi yang merupakan tokoh utama dalam trilogi itu. Kala itu, Sapardi berseloroh bahwa ia menjadi "juru tulis" yang menuangkan apa kemauan karakter dalam bukunya tersebut.

"Kalau saya menceritakan tokoh, itu bukan saya yang jalan, tokohnya yang membimbing saya (arah tulisannya) mau kemana," kata Sapardi.

5 dari 5 halaman

Yang Fana adalah Waktu

Bulan Februari 2020 lalu, Sapardi juga berkolaborasi dengan penulis muda Nadhifa Allya Tsana alias Rintik Sendu dalam buku puisi "Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang."

"Sepanjang proses penulisannya, saya mendengar dialog dalam kepala saya siang malam antara dua orang, perempuan dan laki-laki yang sepenuhnya diucapkan oleh Rintik Sendu dan tugas saya adalah menuliskan semua yang saya dengar dan dengarkan dari dialog. Sepenuhnya."

Ia mengatakan, dalam pembuatan buku itu, dialog yang ia dengar adalah sesuatu yang baru. Membuatnya berpikir bahwa ada semesta yang jauh lebih luas dari yang ada di sekitarnya.

Sapardi dikenal dengan karya-karya dan kutipan-kutipannya yang seolah tak mengenal waktu. Generasi muda saat ini pun masih mengenalnya walau hanya sebatas lewat kata-kata.

Salah satu kutipan Sapardi yang terkenal berjudul "Yang Fana adalah Waktu" berikut isinya:

"Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. Tapi, 'yang fana adalah waktu, bukan?' tanyamu. Kita abadi."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.