Sukses

Perempuan Jepang Rela Bayar Rp 52 Juta Demi 'High Heels'

Baru-baru ini di Jepang sedang merebak gerakan untuk mengajak kaum wanita Jepang memakai sepatu hak tinggi.

Liputan6.com, Tokyo - Walaupun tergolong sebagai negara maju, Jepang terhitung sebagai negara nomor urut buncit dalam urusan kesetaraan gender.

Sekarang malah muncul gerakan baru yang bertujuan "memberdayakan" wanita Jepang melalui anjuran pemakaian sepatu hak tinggi.

Asosiasi Hak Tinggi Jepang - Japan High Heels Asssociation, (JHA) menyerukan kepada kaum wanita untuk mengganti sepatu hak datar dengan stiletto untuk meningkatkan rasa percaya diri di tengah masyarakat sekaligus memperbaiki postur.

Dikutip dari The Telegraph pada Selasa (28/6/2016), organisasi beranggotakan hanya kaum wanita ini bahkan memberikan kursus berseri "kelas etiket ketika berjalan" dengan biaya 400 ribu yen (Rp 52 juta) yang berlangsung selama 6 bulan.

Walau terdengar mahal, ternyata kursus itu laku keras. Sejauh ini sudah ada 4.000 orang wanita Jepang yang menjadi 'lulusan' kursus.

Organisasi itu merupakan satu dari sekian banyak sekolah yang bermunculan di seantero Jepang dengan tawaran serupa kepada kaum wanita, yaitu supaya memberi "kepercayaan diri" dan memperbaiki postur.

Para kritikus mencela kepopuleran kegiatan-kegiatan berkaitan dengan hak tinggi seperti itu. Dalam masyarakat yang masih sangat patriarki, hal itu dipandang seksis dan menjadi bahan tertawaan.

Seorang komentator sosial kondang bernama Mitsuko Shimomura mengatakan, "Tidak ada hubungannya mengenakan sepatu hak tinggi dengan kekuatan seorang wanita. Ini kedengarannya tidak waras."

Baru-baru ini di Jepang sedang merebak gerakan untuk mengajak kaum wanita Jepang memakai sepatu hak tinggi. (Sumber The Telegraph)

"Seruan pakai hak tinggi" di negeri Matahari Terbit itu sangat berseberangan dengan semakin gencarnya upaya untuk menggerus budaya ketidakseimbangan gender yang membandel walaupun pemerintah Jepang telah menggelontorkan sejumlah kebijakan “womenomics” yang berpihak kepada kaum wanita.

Kaum wanita Jepang masih diharapkan meninggalkan pekerjaannya setelah mendapatkan anak, menghadapi sangat kurangnya tempat pengasuhan anak untuk umum, dan seringkali mengeluhkan adanya atap "beton"--bukan sekedar atap kaca--yang menghalangi pegawai wanita menanjak ke posisi senior dalam pekerjaan.

Namun demikian, "Madam" Yumiko, sang direktur penyelia JHA yang berkedudukan di Tokyo, bersikeras bahwa pemakaian sepatu hak tinggi oleh wanita Jepang dapat membantu "wanita Jepang menjadi lebih percaya diri."

Dengan menyerukan kaum wanita untuk sekedar "mengenakan sepasang sepatu hak tinggi" demi membebaskan pikiran, ia mengatakan, "Banyak wanita yang terlalu malu untuk menyatakan diri. Dalam budaya Jepang, kaum wanita tidak diharapkan untuk tampil atau mendahulukan diri."

Tindakan memakai hak tinggi bukan hanya membebaskan mereka secara mental, tapi juga memperbaiki postur buruk yang diakibatkan pemakaian kimono, ujar mantan penari balet berusia 48 tahun ini.

"Kaum wanita China atau Korea tidak memiliki masalah ini. Inilah akibat budaya kimono dan merangkak memakai sandal jerami. Jadi terbiasa dalam cara orang Jepang berjalan," tambahnya.

"Tapi hanya sedikit warga Jepang yang masih memakai kimono seharian. Kita harus mengetahui tentang budaya Barat dan paham caranya memakai hak tinggi secara benar."

Seruan pemakaian hak tinggi oleh kaum wanita sangat kontras dengan kecenderungan di kalangan pegawai wanita Inggris dengan adanya gerakan yang menyerukan kepada pemerintah untuk mengubah aturan pakaian "seksis" bagi pegawai wanita.

Nicola Thorp (27), seorang aktris dan resepsionis paruh waktu di London, berada di belakang kampanye penataan ulang aturan berpakaian "seksis" yang mewajibkan kaum wanita mengenakan sepatu hak tinggi di tempat kerja.

Bulan lalu, lebih dari 100 ribu orang yang mendapat dukungan dari para wanita anggota parlemen mengajukan petisi untuk mengubah undang-undang agar mencegah perusahaan menetapkan kewajiban berpakaian bagi wanita di tempat kerja.

 

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.