Sukses

Ableisme, Salah Satu Tantangan Para Seniman Difabel Membangun Seni Disabilitas di Indonesia

Sering kali seniman disabilitas dianggap tidak mampu, diskriminasi, ada prasangka sosial tertentu, ada stigma, dianggap orang luar, itu disebut ableisme.

Liputan6.com, Jakarta - Seni disabilitas masih menjadi hal baru di Indonesia. Seni disabilitas adalah sebuah identitas, baik secara individu maupun kolektif.

Menyadari dan menghidupi identitas ini memampukan seniman disabilitas untuk memahami dan menilai ulang dirinya, melampaui stigma, prasangka, stereotip yang disematkan selama ini dari kacamata ableisme sebagai identitasnya.

Seni disabilitas bisa menciptakan ruang partisipasi yang bermakna. Artinya, para seniman disabilitas tak hanya datang dan ikut tapi benar-benar terlibat dan bisa mendapatkan sesuatu yang bermanfaat.

Sayangnya, menurut Triarani Susy Utami dari Jogja Disability Arts (JDA), masih terdapat tantangan dalam membangun seni disabilitas di Indonesia, salah satunya adalah ableisme.

“Sering kali seniman disabilitas itu dianggap tidak mampu, diskriminasi, ada prasangka sosial tertentu, ada stigma, dianggap orang luar, itu disebut ableisme,” jelas perempuan yang akrab disapa Rani dalam Talkshow bertajuk Seni Disabilitas di Indonesia: Praktik & Tantangan bersama British Council di Dia.lo.gue, Jakarta Selatan, Kamis (19/9/2024).

Rani menambahkan, ableisme (ableism) berasal dari kata able (mampu), istilah ini merujuk pada orang yang memandang orang lain dari mampu atau tidaknya. Ableisme cenderung menilai penyandang disabilitas sebagai orang yang tidak mampu melakukan berbagai hal.

Ableisme adalah salah satu prasangka sosial yang sebenarnya menjadi tantangan yang cukup mendasar karena ini terkait dengan paradigma atau cara pandang,” terang Rani.

2 dari 4 halaman

Seni Disabilitas Tumbuhkan Solidaritas

Seni disabilitas, lanjut Rani, dapat menumbuhkan empati dan solidaritas para penyandang disabilitas untuk menepis paradigma ableisme yang ada.

“Kita percaya bahwa seni disabilitas itu punya kelenturan untuk menumbuhkan empati, keterhubungan, dan solidaritas. Jadi sebagai salah satu cara bagaimana kita bisa menantang paradigma ableisme itu,” ucap Rani.

“Teman-teman tentu punya cara dan kekuatannya masing-masing untuk bagaimana kita sama-sama menciptakan lingkungan yang lebih inklusif untuk kita semua.”

Guna menggaungkan seni disabilitas, JDA telah melakukan berbagai kegiatan termasuk kolaborasi karya, pameran rutin setiap tahun, dan pelibatan seniman internasional.

3 dari 4 halaman

Pemetaan Penari Disabilitas di Indonesia

Dalam kesempatan yang sama, Putri Raharjo dari Nalitari sekaligus mewakili We Are Epic dan Ballet.ID mengungkap hasil pemetaan penari disabilitas di Indonesia.

Menurutnya, pada 2023, We Are Epic didanai oleh British Council untuk menemukan penari disabilitas di empat pulau besar di Indonesia. Yakni di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

Dalam penelitian berjudul Discovering Disabled Dance Talent Across Indonesia pihak Putri menemukan ada 137 penari disabilitas di Indonesia dengan rincian:

  • Jawa: 92 penari
  • Sumatera: 25 penari
  • Sulawesi: 17 penari
  • Kalimantan: 3 penari.

“Meski tidak termasuk dalam kategori penari, kami juga menemukan 32 orang disabilitas dan organisasi profesional lain dengan latar belakang seni,” jelas Putri.

Dia menambahkan, 137 penari tersebar di 25 lokasi utama yang berbeda di seluruh kepulauan. Mayoritas penari dan organisasi berlokasi di dekat kota besar dan 96 persen individu terkait dengan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).

4 dari 4 halaman

Penari Disabilitas Didominasi Usia Muda

Penelitian juga mengungkap bahwa 137 penari termasuk dalam kelompok usia antara 6 hingga 44 tahun. Dan usia rata-rata mereka adalah 19 tahun.

Semua peserta mengidentifikasi diri mereka sebagai penyandang disabilitas dengan rincian sebagai berikut:

  • Neurodivergent: 3,6 persen
  • Visual impairment: 4,4 persen
  • Learning disabled 6,6 persen
  • Hearing impaired: 35,0 persen
  • Down syndrome: 38,0 persen
  • Disabilitas fisik: 12,4 persen.

“Lebih dari 75 persen (111) penari mengatakan mereka menari sebagai hobi dan sebagai bagian dari kegiatan budaya, pendidikan atau organisasi.”

“Kurang dari 25 persen (26) penari mengatakan mereka dibayar sebagai penari profesional,” jelas Putri.

Dari penelitian itu, ditemukan berbagai tantangan yang dihadapi oleh para penari disabilitas. Salah satunya, sejalan dengan yang disampaikan oleh Rani, yakni ableisme.

“Masyarakat di Indonesia masih memandang disabilitas sebagai orang yang tidak mampu dan seperti orang luar,” kata Putri.