Liputan6.com, Jakarta Epilepsi adalah salah satu kelainan dengan prevalensi cukup tinggi di antara kelainan neurologis lainnya.
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan neurologis yang ditandai dengan kejang berulang serta hilangnya kontrol tubuh dan kesadaran karena aktivitas listrik otak yang abnormal.
Baca Juga
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 70 juta penduduk dunia mengalami epilepsi. Sekitar 8-10 persen populasi akan mengalami serangan epilepsi dalam masa hidupnya. Namun, hanya sekitar 2-3 persen yang akan berlanjut menjadi penyakit.
Advertisement
Sementara, data epidemiologi epilepsi di Indonesia sangat terbatas. Estimasi penderita epilepsi di Indonesia adalah 1,5 juta dengan prevalensi 0,5-0,6 persen dari penduduk Indonesia. Mengacu pada data insidensi epilepsi di dunia adalah 50,3 per 100.000 populasi per tahun.
Komunitas maupun organisasi penyandang disabilitas yang menangani epilepsi juga masih minim. Salah satu komunitas/organisasi peduli epilepsi di Indonesia adalah Lingkar Sosial Indonesia (LINKSOS).
Organisasi yang berbasis di Malang, Jawa Timur ini memberi pelayanan terhadap orang dengan epilepsi (ODE) dengan konseling sebaya dan kegiatan olahraga, salah satunya mendaki gunung.
“Kelompok yang mendampingi ODE dan disabilitas lainnya mendaki gunung bernama Difabel Pecinta Alam (Difpala),” kata pembina Linksos, Ken Kerta dalam keterangan tertulis di laman resmi Linksos, dikutip Selasa (13/2/2024).
Kaitan Epilepsi dengan Disabilitas
Lantas, apa kaitan epilepsi dengan disabilitas?
Pembina Linksos, Ken Kerta memberi jawaban. Dia merujuk pada UU RI Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UU tersebut mengatakan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensori dalam jangka waktu lama. Mereka yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Advertisement
Lebih Berkaitan dengan Disabilitas Mental
Misalnya, lanjut Ken, khusus penyandang disabilitas mental hambatan yang dapat dialami adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, seperti:
- Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, ansietas (gangguan kecemasan), dan gangguan kepribadian
- Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autisme dan hiperaktif.
Sementara, epilepsi adalah kondisi di mana sekelompok neuron dalam otak mengirim sinyal dengan cepat dan tidak normal. Akibatnya, pengidap epilepsi atau ODE dapat mengalami berbagai gejala, termasuk perubahan perilaku, emosi, dan kesehatan mental.
Perubahan Emosi hingga Kesehatan Mental ODE
Setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan pada orang dengan epilepsi, yaitu perubahan emosi, perubahan perilaku, dan kesehatan mental.
Perubahan Emosi
ODE bisa mengalami depresi atau suasana hati yang rendah dan perasaan sedih yang berkepanjangan. ODE juga mengalami ansietas (kecemasan), perubahan suasana hati, fluktuasi emosi, bahkan pikiran bunuh diri.
Perubahan Perilaku
ODE cenderung menarik diri dari lingkungan sosial dan keluarga serta kesulitan konsentrasi. Beberapa ODE juga mengalami masalah seperti bicara tidak runut, kesulitan berbicara dan mengganti topik secara tiba-tiba.
Kesehatan Mental
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh RSCM pada 2007 melaporkan, terdapat 44,8 persen anak dengan epilepsi yang mengalami gangguan mental, mood, kecemasan, dan konsentrasi.
Ken mengatakan, mengalami epilepsi bukan akhir dari segalanya, kuncinya adalah pola hidup sehat. Maka merawat epilepsi memerlukan pendekatan yang komprehensif dan perawatan yang teratur.
“Terdapat dua hal penting bagi orang dengan epilepsi (ODE) yaitu konsultasi dengan dokter dan melakukan gaya hidup sehat,” tutup Ken.
Advertisement