Liputan6.com, Jakarta Seperti penyandang disabilitas lainnya, orang dengan spinal muscular atrophy (SMA) kerap mendapat stigma dari masyarakat. Padahal, stigma-stigma itu hanya mitos belaka yang tidak benar adanya.
Menurut Ketua Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia Sylvia Sumargi, dua mitos dan stigma yang kerap diberikan pada penyandang SMA adalah:
Baca Juga
Nutrifood Cetak Pemimpin Muda yang Berkontribusi Mengedukasi Soal Sampah sampai Ajak Siswa Disabilitas Masuk Perguruan Tinggi
Kisah Berdirinya SLB Mandiri Putra yang Berpartisipasi di Peparnas 2024, Ketuk Pintu Hati Orangtua ABK dari Pintu ke Pintu
Seluruh Atlet Peparnas XVII Solo Dilindungi BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Batas Biaya Perawatan
- Penyandang SMA dianggap tidak dapat mengaktualisasikan diri atau berkarya di masyarakat.
- Penyandang SMA adalah beban, karena kondisinya yang berlangsung lama, tidak dapat sembuh kembali menjadi normal.
Dua stigma ini pun dipatahkan oleh dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi Dian Marta Sari. Menurutnya, spinal muscular atrophy adalah penyakit genetik yang menyebabkan kelemahan otot motorik dan bersifat progresif.
Advertisement
Meski memengaruhi otot, tapi penyakit ini tidak memengaruhi otak. Maka, dari sisi kecerdasan atau kognitif, orang dengan SMA sama atau bisa lebih dari non disabilitas.
“Untuk sekolah kecerdasan anak SMA ini normal, bahkan mereka sangat pintar tidak ada masalah dengan kognisi dan kecerdasannya,” kata Dian kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan suara dikutip Rabu (30/8/2023).
Maka dari itu, penyandang disabilitas akibat SMA masih bisa mengaktualisasikan diri atau berkarya di masyarakat. Dan mereka bukanlah beban, melainkan warga negara yang memiliki hak sama dengan masyarakat lainnya.
Contoh Penyandang SMA yang Mampu Berdaya
Beberapa contoh penyandang SMA yang mampu berdaya dan berkarya yakni Zulhamka Julianto Kadir dan Kenzie Aqila Kadir.
Zulhamka adalah pengguna kursi roda asal Bandung yang menyandang SMA. Sehari-hari ia bekerja sebagai customer service (CS) di salah satu perusahaan telekomunikasi di Bandung.
SMA yang disandangnya tak membuat ia patah semangat. Sebaliknya, pria yang karib disapa Anto ini membuktikan bahwa dirinya bisa berdaya dan mandiri secara finansial.
Sementara, Kenzie Aqila Kadir adalah putra semata wayang Anto yang juga menyandang SMA. Di usianya yang baru menginjak 10 tahun, Kenzie sudah meraih prestasi di bidang olahraga.
Dia berhasil meraih medali emas di Pekan Paralympic Pelajar Daerah (Peparpeda) III Jawa Barat (Jabar) 2023 pada Juli lalu.
Advertisement
Lebih Jauh Soal Spinal Muscular Atrophy
Dian kemudian memberi penjelasan lebih jauh soal SMA. Sifat SMA yang progresif atau semakin parah seiring berjalannya waktu menjadikan SMA pembunuh nomor satu di dunia bagi bayi usia di bawah dua tahun.
Maka dari itu, penting untuk segera mengenali dan memberikan pengobatan serta terapi yang tepat pada anak yang menyandang SMA.
Prevalensi Spinal Muscular Atrophy
SMA adalah penyakit langka karena kelainan genetik. Dari 40 hingga 60 orang ada satu pembawa gen penyakit SMA, lanjut Dian.
“Jadi dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekitar 278 juta, itu artinya pembawa gen SMA-nya ada sekitar lima sampai enam juta. Kemudian kalau dari kelahiran bayi hidup, jumlahnya ada satu dari 6.000 sampai 11.000 kelahiran bayi hidup,” jelas Dian.
“Jadi menurut saya ini cukup banyak yah, cuman kadang kala tidak terdeteksi, tidak terdiagnosa dengan baik karena fasilitas rumah sakitnya, pengetahuan dari dokternya juga, karena ini penyakit langka,” tambahnya.
Penyebab dan Tata Laksana Spinal Muscular Atrophy
SMA merupakan penyakit genetik di mana ada masalah pada protein SMN1 yang berada di organ tubuh terutama otot. Pada penyandang SMA, protein SMN1 yang mendukung kerja otot dan mengaktifkan organ tubuh ini hilang (delesi).
Maka dari itu, orang dengan SMA mengalami kelemahan otot. Tidak hanya otot anggota gerak, tapi juga berbagai otot lain seperti otot pernapasan, pencernaan, otot mengunyah dan lain-lain.
“Sehingga penanganan anak SMA ini harus tim, kolaborasi dokter, tidak hanya dokter anak tapi juga rehabilitasi medik, ortopedi, dokter saraf, dokter gizi.”
Di samping itu, anak juga perlu pendidikan dan sekolah maka kerja sama dengan dinas pendidikan, dinas kesehatan, dinas sosial pun diperlukan.
“Jadi, tata laksana untuk anak SMA ini harus holistik dan terintegrasi,” tutup Dian.
Advertisement