Sukses

Kecacatan Berpikir Picu Stigma dan Diskriminasi Penyandang Disabilitas, Apa yang Perlu Dilakukan?

Kecacatan berpikir ini bukanlah sebuah istilah yang dipakai untuk merendahkan sahabat dari komunitas disabilitas intelektual. Ini merujuk pada cara berpikir yang salah.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Inklusif (IGTI) Bima Kurniawan membahas soal kecacatan berpikir yang memicu stigma pada penyandang disabilitas.

"Kecacatan berpikir ini bukanlah sebuah istilah yang saya pakai untuk merendahkan sahabat dari komunitas disabilitas intelektual. Saya meyakini bahwa mereka adalah orang-orang hebat yang secara kodratnya terpilih sebagai insan mulia di dunia ini,” kata Bima kepada Disabilitas Liputan6.com melalui keterangan tertulis dikutip Selasa (22/8/2023).

Lebih lanjut, istilah "kecacatan berpikir" yang ditekankan Bima di sini mengacu pada "pilihan" berpikir yang salah, karena adanya dimensi perasaan dan pandangan yang keliru akan suatu hal.

Ketika pandangan seseorang terbatas dan sempit mengenai suatu hal, perlahan-lahan perasaan yang salah tersebut akan mengakar dan membentuk pola pikir yang disebut sebagai "kecacatan berpikir".

Menurutnya, kecacatan berpikir yang dipertahankan semakin liar akan memicu stigmatisasi negatif terhadap suatu hal. Stigma liar yang masih berkeliaran di Indonesia salah satunya adalah stigma negatif terhadap penyandang disabilitas.

“Stigma adalah konsep atau persepsi yang merendahkan atau mencemarkan citra seseorang atau kelompok berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap berbeda dari norma sosial,” jelas penyandang disabilitas netra itu.

“Dalam konteks Indonesia yang berbhineka, stigma liar ini khususnya mengarah pada kaum difabel. Mereka seringkali dihadapkan pada diskriminasi, pengabaian, atau perlakuan tidak adil yang bersumber dari pandangan sempit dan tidak tepat tentang kemampuan dan kontribusi mereka dalam masyarakat,” tambahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Bisa Merapuhkan Persatuan Bangsa

Kecacatan berpikir yang dibiarkan tidak terkendali akan merapuhkan kesatuan dan persatuan bangsa, lanjut Bima. Sehingga, sudah barang tentu akan merugikan kedua belah pihak, baik individu yang mengalami stigma maupun masyarakat secara keseluruhan.

“Dengan demikian, penting bagi bangsa ini menjaga kebhinekaan dengan terus berupaya mengatasi kecacatan berpikir dengan mengedepankan pandangan yang lebih inklusif, holistik, dan toleran terhadap perbedaan.”

Lebih lanjut Bima mengatakan, kecacatan berpikir terhadap penyandang disabilitas telah lama menjadi tantangan serius bangsa Indonesia. Meskipun bangsa ini hidup dalam era globalisasi yang semakin inklusif, stereotip dan prasangka terhadap mereka yang difabel masih sering menghalangi langkah menuju kesetaraan dan keadilan memperoleh hak dan kewajiban sebagai warga negara.

3 dari 4 halaman

Kecacatan Berpikir Memicu Diskriminasi

Stigma yang muncul karena kecacatan berpikir menimbulkan persepsi kotor yang menghalangi pemahaman tentang keberagaman kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.

Ini dapat menyebabkan diskriminasi seperti:

  • Pengucilan
  • Peniadaan
  • Pelecehan
  • Pembatasan hak akses dengan rancangan universal.

Mengatasi stigma negatif ini adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil dan setara.

Menurut Bima, bangsa ini perlu menggeser paradigma sempit dari pandangan kotor yang menganggap penyandang disabilitas sebagai manusia yang bermasalah atau terbatas, menuju pemahaman bahwa setiap individu memiliki potensi unik. Setiap individu dilindungi oleh Hak Asasi Manusia (HAM) untuk dapat berkontribusi secara utuh di tengah masyarakat plural.

4 dari 4 halaman

Perlu Upaya Bersama

Mengingat pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa melalui dimensi pluralisme, maka diperlukan upaya bersama dari seluruh rakyat. Tidak terkecuali pemerintah, lembaga pendidikan, keluarga, dan organisasi masyarakat.

Semua pihak perlu ikut berpartisipasi untuk membangun kesadaran dalam mempromosikan pengakuan, penghormatan, penghargaan dan perlindungan terhadap keberagaman dimensi fisik, sensorik, intelektual dan mental manusia Indonesia.

Terdapat beberapa langkah yang bisa diambil untuk dapat keluar dari cengkraman kecacatan berpikir pada individu dengan disabilitas. Salah satunya adalah dengan menggunakan bahasa yang inklusif untuk menggambarkan "kecacatan" dengan "disabilitas" atau "difabel" guna menghindari terbentuknya kepekatan stereotip.

Selain itu, perlu diterapkan pendidikan yang berfokus pada kemerdekaan belajar yang mengakui keragaman kemampuan manusia.

Konsep ini sejalan dengan pandangan para pendiri bangsa, yang telah menekankan pentingnya kesetaraan dan keadilan dalam mengembangkan cara berpikir melalui belajar.

Kemerdekaan belajar dapat diartikan sebagai pendidikan yang memiliki standar kualitas tinggi, mengakui hak-hak manusia berdasarkan kemampuan individu. Dan bertujuan membentuk manusia serta masyarakat yang baru dengan karakter yang baik untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.