Sukses

Masalah Kesehatan Mental RI Tak Diimbangi Fasilitas Medis yang Memadai, Digitalisasi dan Kolaborasi Bisa Jadi Solusi

Banyaknya masalah kesehatan mental di Indonesia belum diimbangi dengan jumlah fasilitas medis dan psikologis yang tersedia.

Liputan6.com, Jakarta Banyaknya masalah kesehatan mental di Indonesia belum diimbangi dengan jumlah fasilitas medis dan psikologis yang tersedia.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), hanya 50 persen dari 10.321 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang saat ini menawarkan layanan kesehatan jiwa.

Selain itu, empat provinsi masih kekurangan layanan kesehatan jiwa dan hanya 40 persen rumah sakit umum yang memiliki fasilitas yang diperlukan.

Mengenai ketersediaan psikiater, rasio di Indonesia sangat tidak proporsional, dengan satu psikiater melayani sekitar 227.000 orang. Ini jauh dari rasio ideal yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang menyarankan satu psikiater per 30.000 orang.

Terlebih, distribusi psikiater sangat terkonsentrasi di kota-kota di pulau Jawa, mengakibatkan akses layanan kesehatan jiwa yang tidak merata di seluruh negeri.

Untuk memperkuat jaringan kesehatan jiwa di Indonesia, pemerintah mendorong kolaborasi antara pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swasta, organisasi profesi, komunitas, dan startup. Tujuannya, mengembangkan pendekatan terpadu dalam upaya kesehatan jiwa.

Mengintegrasikan data dan layanan antara startup kesehatan konvensional dan digital juga bisa menjadi cara untuk menciptakan ekosistem kesehatan Indonesia yang lebih baik. Ini dapat membawa peluang untuk mengembangkan produk berbasis digital. Seperti produk aktivitas medis preventif berbasis Internet of Things (IoT) dan artificial intelligence (AI).

2 dari 5 halaman

Contoh Digitalisasi Layanan Kesehatan Mental

Kolaborasi juga dapat membuat perawatan kesehatan lebih mudah diakses, baik di kota besar maupun di di daerah.

Ini berlaku untuk startup kesehatan mental, pusat kesehatan konvensional, asosiasi psikiater, dan komunitas.

Salah satu contoh digitalisasi pelayanan kesehatan mental adalah dengan diciptakannya aplikasi konseling Riliv.

Aplikasi ini dibuat oleh software developer muda Indonesia, Audrey Maximillian Herli. Ia pun menceritakan kisah di balik terciptanya aplikasi konseling kesehatan mental ini.

Menurut pria yang karib disapa Maxi, aplikasi kesehatan mental buatannya tercetus ketika dia melihat temannya mendapat perundungan (bully).

Perundungan yang menimpa temannya itu terjadi saat masa kuliah kira-kira 2015. Teman Maxi di-bully lantaran membagikan cerita dan masalah pribadinya di media sosial.

Seperti diketahui, meluasnya penggunaan media sosial telah memungkinkan orang untuk berbagi cerita dan pengalaman pribadi mereka secara daring. Terkadang, hal ini memicu cyberbullying atau perundungan siber.

3 dari 5 halaman

40 Persen Pengguna Internet Indonesia Pernah Mendapat Perundungan Siber

Perundungan di dunia maya adalah masalah global yang terjadi ketika individu melecehkan, mengintimidasi, atau mengancam orang lain melalui platform digital. Seperti media sosial, aplikasi pesan instan, atau forum daring.

Di Indonesia, isu mengenai bullying dan cyberbullying telah beredar luas. Sebuah studi tahun 2019 menyoroti bahwa 49 persen pengguna internet Indonesia pernah mengalami perundungan di media sosial.

Studi ini dilakukan oleh Polling Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).

Fenomena tersebut mendorong software developer muda ini untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di sekitarnya.

Sebagai mahasiswa IT di Universitas Airlangga, Surabaya, pada 2015, dia memutuskan untuk memberikan layanan konseling di kampus.

Tujuannya, tak lain agar mahasiswa dapat mengungkapkan perasaannya dan merasa didengar.

4 dari 5 halaman

Berawal dari Layanan Konseling di Kampus

Dalam menciptakan layanan konseling di kampus, pria kelahiran 13 Oktober 1992 mencari mahasiswa psikologi yang dapat membantu mahasiswa yang membutuhkan. Serta memberikan respons tentang kesulitan emosional dalam suasana santai.

Selain konseling tatap muka, Maxi menyiapkan aplikasi untuk memfasilitasi layanan ini dan membiarkan teman kampusnya menggunakan aplikasi tersebut secara gratis.

Setelah itu, Maxi bergabung dengan program inkubator lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kota setempat dan akselerator. Di tahap ini, dia menyadari bahwa visinya bisa diubah menjadi bisnis jangka panjang.

Di akhir tahun 2015, Maxi dan saudaranya, Audy Christopher Herli, mengembangkan ide tersebut menjadi Riliv.

5 dari 5 halaman

Riliv Sekarang

Kini, Riliv dikenal sebagai sebuah startup yang menawarkan layanan konseling dan kesehatan mental.

Kemudian pada 2022, Riliv menggalang pendanaan dipimpin oleh perusahaan keuangan yang mendanai startup (venture capital/VC) East Ventures.

Hingga Maret 2023, lebih dari 900.000 orang di seluruh Indonesia telah mengunduh aplikasi Riliv. Dan lebih dari 100 psikolog profesional bermitra dengan aplikasi tersebut untuk memecahkan masalah pengguna.

“Kami bermimpi seluruh rakyat Indonesia harus sehat secara mental. Kami selalu berharap masyarakat Indonesia menganggap kesehatan mental sebagai kesehatan fisik, dan tidak ada lagi stigma bahwa orang yang berkonsultasi dengan psikolog itu aneh atau gila,” kata Maxi mengutip keterangan pers, Jumat (26/5/2023).

“Alangkah baiknya jika ada lebih banyak pemahaman tentang orang-orang dengan masalah kesehatan mental. Sehingga lebih banyak orang bisa bahagia dan hidup bermakna bagi diri dan lingkungannya,” tutup Maxi.