Sukses

Serba Touch Screen Ternyata Menyulitkan Penyandang Disabilitas Netra

Meskipun memudahkan banyak orang, teknologi touch screen belum sepenuhnya ramah penyandang disabilitas netra.

Liputan6.com, Jakarta - Teknologi touch screen (layar sentuh) yang kini dapat ditemukan di mana pun, termasuk layanan publik, telah banyak memudahkan hidup masyarakat.

Namun, tampaknya penyandang disabilitas netra tak merasakan manfaat yang sama. Sebab, bagi penyandang disabilitas netra, sesuatu yang dapat disentuh atau dirasakan oleh fisik mereka sangat membantu dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Misalnya, batas jalan yang bisa dirasakan oleh tongkat mereka, juga tombol yang timbul untuk ditekan. 

Karena bisa dirasakan dan dipegang, sarana-sarana penunjang tersebut sangat memudahkan keseharian mereka.

Akan tetapi, dengan touch screen, mereka tak tahu apa yang mereka sentuh. Hal ini menjadi krusial, mengingat untuk mengisi PIN ATM pun sudah menggunakan teknologi touch screen di beberapa negara, salah satunya Australia.

Salah satu penyandang disabilitas netra dari negara tersebut, Nadia Mattiazzo, turut menceritakan pengalamannya dengan touch screen.

Nadia bercerita, kerugian dari teknologi ini dirasakannya mulai dari ketika ia berkunjung ke sebuah kafe untuk membeli kopi pada 2016 lalu.

Saat berniat untuk membayar, ia terkejut lantaran tak ada cara baginya untuk membayar. Sebab, kafe tersebut telah sepenuhnya beralih dengan menggunakan touch screen untuk pembayaran.

Tanpa tombol untuk membantunya mengarahkan letak angka, Nadia tidak dapat memasukkan PIN.

"Saya masuk untuk membeli kopi dan tiba-tiba ada layar ini, dan saya tidak punya uang tunai," kata CEO Women with Disabilities Victoria tersebut kepada situs Nine.

Tak lama dari kejadian itu, Nadia mulai menyadari bahwa teknologi layar sentuh ini telah muncul di kafe dan restoran lainnya pula.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

Laporan Nadia Menggugat Bank Commonwealth

Merasa teknologi ini tak inklusif, Nadia bekerja sama dengan mantan Komisaris Diskriminasi Disabilitas Australia, Graeme Innes.

Tujuannya, tak lain untuk menggugat Bank Commonwealth dan membawa kasus ke pengadilan.

Adapun Bank Commonwealth adalah bank penyedia layanan keuangan terintegrasi terbesar di Australia, seperti mengutip Commbank.

Pada tahun 2019, bank tersebut akhirnya meningkatkan jangkauan layar sentuh mereka untuk meningkatkan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas netra dan rabun.

Teknologi Touch Screen Makin Meluas

Kini, empat tahun kemudian, Nadia menyadari bahwa perjuangannya dan para penyandang disabilitas netra lainnya masih jauh dari kata usai.

Penyebaran touch screen yang makin meluas membuat masalah yang dihadapinya lebih buruk dari sebelumnya, mengutip Nadia.

"Ini telah tumbuh dengan sangat cepat. Sekarang, semuanya layar sentuh," katanya.

"Ada di mana-mana. Anda pergi ke supermarket dan checkout mandiri juga berupa layar sentuh,” Nadia melanjutkan.

3 dari 6 halaman

Tombol Lantai Lift dengan Touch Screen Juga Menyulitkan

Sejak pandemi COVID-19, pemerintah di banyak tempat menetapkan tombol lift yang hanya bisa dipilih dengan sensor touch screen. Tujuannya, tak lain untuk meminimalisasi masyarakat menyentuh benda asing yang dapat menyebarkan virus.

Setelah pandemi mereda, touch screen untuk lift masih digunakan di banyak tempat umum. Dengan alasan yang sama seperti sebelumnya, hal ini juga membuat para penyandang disabilitas netra kesulitan.

Beberapa waktu lalu, beredar sebuah video TikTok yang diunggah oleh seorang penyandang disabilitas netra, Mario Bonds, mengenai kesulitannya di dalam lift. Dalam video, tampak ia terjebak di dalam lift karena tombol lantai dengan touch screen yang sulit digunakan.

Melihat hal ini, seorang pemimpin kebijakan publik di Vision Australia, Bruce Maguire, mengaku bahwa pengalaman serupa makin sering dirasakan para penyandang disabilitas.

“Hotel-hotel yang menggunakan touch screen untuk lift-lift mereka makin banyak, dan itu tidak bisa digunakan (para penyandang disabilitas),” tuturnya.

4 dari 6 halaman

Fitur Instruksi Suara dalam Lift Telah Ada, Tapi Belum Banyak

Bruce mengungkap, kini beberapa bangunan modern telah menyediakan tombol aksesibilitas pada lift.

Jadi, meskipun menggunakan touch screen, instruksi suara bisa diaktifkan. Walau begitu, ia juga mengaku fitur tersebut belum banyak digunakan.

"Anda tidak tahu sebelumnya tempat mana yang akan memiliki (fitur instruksi suara) dan mana yang tidak," kata Bruce.

Ia juga mengakui, makin banyak peralatan dengan touch screen yang menjadi masalah utama bagi penyandang disabilitas netra dan rabun.

“Mesin kopi, AC, dan mesin cuci, makin banyak yang memiliki layar sentuh,” tuturnya.

5 dari 6 halaman

Aplikasi Menjadi Sarana Penunjang

Kini, banyak perusahaan-perusahaan elektronik besar yang berupaya menyertakan aplikasi yang dapat disinkronkan ke gawai.

Nantinya, para penyandang disabilitas dapat menggunakan gawai sebagai penunjang, untuk menggunakan peralatan-peralatan yang sebelumnya sulit diakses.

Hal ini disebut Bruce sebagai “secercah harapan” menuju dunia yang makin inklusif.

"Jika aplikasi telah dirancang untuk dapat diakses, maka Anda dapat menggunakan aplikasi tersebut untuk mengontrol perangkat," katanya.

"Saya punya mesin kopi yang memiliki layar sentuh, tapi ada aplikasinya. Saya bisa memberi tanda kecil di sisi kiri dan kanan layar sehingga saya bisa menyentuh berbagai tempat,” Bruce menambahkan.

Meski begitu, menurut Bruce, hal ini tetap tak mudah bagi para penyandang disabilitas. Tepatnya, untuk terus menerus menggunakan aplikasi setiap kali ingin melakukan hal yang mudah dilakukan orang lain tiap harinya, seperti membeli kopi.

6 dari 6 halaman

Masalah Pembuat Produk, Bukan Masalah Teknologi

Bruce mengatakan, hal yang membuatnya frustrasi adalah fakta bahwa semua produk yang dia sebutkan sebenarnya mudah diakses.

"Ini bukan masalah teknologi, ini masalah orang sebagai pembuat produk, karena mereka tidak menyertakan aksesibilitas dalam desainnya,” ujarnya.

Oleh sebab itu, menurut Bruce, diperlukan undang-undang baru untuk memaksa perusahaan-perusahaan membuat produk-produk yang inklusif.

"Kami membutuhkan undang-undang untuk diubah, sehingga Anda tidak dapat memperkenalkan teknologi baru ke masyarakat jika itu tidak inklusif, serta mudah diakses," pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.