Sukses

Ajak Anak Disabilitas Kenali Lingkungan, Cara Lindungi Buah Hati dari Kekerasan Seksual

Kriminolog Haniva Hasna menjelaskan bahwa mengenalkan lingkungan pada anak disabilitas adalah hal yang penting.

Liputan6.com, Jakarta Nasib malang menimpa anak disabilitas di Sumedang, Jawa Barat, AP, yang menjadi korban pemerkosaan oknum tukang ojek pangkalan di lingkungan tempat tinggalnya.

Bocah usia 10 itu dibujuk oleh DE (38) untuk ikut bersamanya kemudian melakukan pemerkosaan. Hal ini terungkap setelah sang ibu, NI, mengetahui bahwa buah hatinya lepas dari pengawasan.

Tiga pekan sebelum kejadian tersebut, DE juga sempat membawa AP tanpa sepengetahuan NI dan ditemukan bercak darah di celana dalam putrinya. Setelah pencarian dan interogasi yang bertele-tele, DE pun mengakui perbuatannya dan diproses oleh pihak kepolisian.

Dari kasus ini, Kriminolog Haniva Hasna menjelaskan bahwa mengenalkan lingkungan pada anak disabilitas adalah hal yang penting.

“Sangat penting terkait dengan pencegahan kekerasan seksual. Anak harus paham siapa saja keluarga intinya, keluarga di luar keluarga inti, teman, tetangga, dan orang asing,” kata perempuan yang juga pemerhati anak dan keluarga itu kepada Disabilitas Liputan6.com melalui pesan tertulis, Sabtu 28 Januari 2023.

Tidak hanya mengenalkan pada lingkungan, anak juga perlu diajarkan cara melindungi diri. Tunjukkan bahwa anak-anak disabilitas memiliki kehormatan, kekuatan dan kemampuan untuk melaporkan ketidaknyamanannya, sehingga pelaku berpikir ulang ketika akan melakukan kekerasan.

Misalnya, mereka dibekali alat tertentu (panic button) yang siap dipencet ketika mereka merasa terancam atau tidak nyaman. Alat tersebut langsung terhubung pada orangtua, guru, keluarga atau pihak-pihak yang bisa segera memberi bantuan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Ajarkan Soal Batasan Tubuh

Kriminolog yang karib disapa Iva juga menyampaikan bahwa anak disabilitas perlu diajarkan cara melindungi diri dengan mengetahui siapa saja yang boleh menyentuh tubuhnya.

“Sampaikan bahwa tubuhnya berharga sehingga tidak sembarang orang bisa menyentuh kecuali diri sendiri, orangtua dan dokter (dengan pengawasan orangtua). Ajarkan untuk menggunakan pakaian dan berperilaku yang baik sehingga tidak mengundang respons negatif dari orang sekitar,” kata Iva.

Anak yang menyandang kebutuhan khusus juga perlu diajarkan untuk selalu terbuka kepada orangtua. Misalnya, ketika mereka merasa tidak nyaman dengan perilaku orang sekitar.

Pemberian edukasi seksual juga penting. Edukasi seks dapat disesuaikan dengan usia dan pemahaman anak.

Anak juga bisa diajarkan untuk tidak terlalu ramah kepada orang sekitar dan selalu waspada agar tidak disalah artikan oleh orang lain yang berpotensi menjadi pelaku.

“Sebenarnya, ada 4 pihak yang bisa melindungi anak yaitu anak itu sendiri, orangtua dan keluarga, masyarakat sekitar, dan pemerintah,” kata Iva.

3 dari 4 halaman

Termasuk Kelompok Rentan

Iva juga menjelaskan bahwa penyandang disabilitas termasuk dalam kelompok rentan terhadap tindak kekerasan.

Selain penyandang disabilitas, beberapa kelompok rentan kekerasan lain dibagi berdasarkan jenis kelamin, kelas sosial, domisili, orientasi seksual, dan minoritas.

“Anak penyandang disabilitas lebih rentan mengalami kekerasan seksual akibat hambatan komunikasi dan intelektual,” katanya.

Ia menambahkan, isu kekerasan seksual belum banyak diketahui oleh kelompok disabilitas. Sehingga sangat penting memasukkan isu kekerasan seksual ini ke dalam pelajaran sekolah sesuai dengan kelompok disabilitasnya.

“Sehingga mereka lebih aware dan memiliki keterampilan dalam melindungi dirinya.”

4 dari 4 halaman

Dipandang Lemah

Menjadi kenyataan yang menyedihkan jika mengingat persoalan yang dihadapi anak penyandang disabilitas bukan hanya soal aksesibilitas dan akomodasi layak.

Namun juga tentang pemenuhan hak anak lainnya seperti perlakuan yang salah, penelantaran, korban stigmatisasi, pelabelan, serta berbagai kekerasan dari perundungan hingga kekerasan seksual.

Pada dasarnya pelaku kekerasan seksual menggunakan relasi kuasa terhadap korbannya. Pelaku cenderung memilih korban yang dianggap lemah.

Dalam kasus ini, penyandang disabilitas dianggap sebagai pihak yang lemah, karena:

- Ketidakmampuan untuk menghindar  atau berlari ketika ada ancaman akibat hambatan fisik dan komunikasi

- Kesulitan melaporkan karena hambatan komunikasi

- Kebutuhan/ketergantungan pada bantuan untuk melakukan aktivitas

- Keinginan untuk bisa diterima atau disukai oleh orang lain

- Terisolasi dan dikucilkan komunitas/pertemanan

- Kurangnya pendidikan tentang seksualitas yang sehat dan pencegahan pelecehan seksual.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.